|
MedanBisnis ? Medan, Orang buang sampah dan tinja ke sungai seenaknya, awak kena getahnya! Kira-kira begitulah risiko kalau sumber air PDAM tercemar limbah domestik. Menurut seorang pejabat Bappenas, setiap liter air sungai yang tercemar dengan kandungan 1 mg BOD (biological oxygen dissolve), maka beban biaya pengolahannya menjadi air bersih naik sebesar Rp 9,14 per liter air. Besaran cost normalisasi air baku itu tentu saja dibebankan kepada pelanggan PDAM. ?Jadi kira-kira, kalau setiap tumah tangga pelanggan PDAM membayar tarif air bersih Rp 100.000 per bulan, itu berarti 25% dari tarif tersebut merupakan beban biaya akibat sumber air PDAM yang tercemar,? kata Kasubdit Air Minum dan Air Limbah Direktorat Permukiman dan Perumahan Bappenas, Ir Nugroho Tri Utomo, di sela-sela Lokakarya Keberlanjutan Air Baku PDAM di Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara, Senin (26/3). Nugroho menjelaskan, peningkatan bangunan di bantaran sungai di seluruh Indonesia punya pengaruh negatif terhadap mutu air. ?Lihat saja pertumbuhan dari tahun 1996-1999, rata-rata peningkatan bangunan di bantaran sungai mencapai 37%, di Pulau Jawa bisa mencapai 189%. Hal ini mengakibatkan peningkatan beban cemaran air rata-rata nasional sebesar 34.86 ton BOD dan 85.89 ton COD/tahun,? katanya. Menurut dia, bisa dipastikan betapa besar biaya yang harus terbuang percuma untuk menstabilkan kualitas air olahannya. ?Setiap tambahan konsentrasi pencemaran BOD akan meningkatkan biaya produksi air dan meningkatnya biaya produksi PDAM dan berakibat kepada kenaikan tarif,? tegasnya. Bagaimana dengan kondisi sumber air permukaan yang digunakan PDAM Tirtanadi? Menurut Direktur Perencanaan dan Produksi PDAM Tirtanadi, Ir Subahri Ritonga, kandungan BOD di Sungai Deli, khususnya kawasan Deli Tua pada tahun 2006 sudah mencapai 6 mg per liter atau di atas standar ambang baku mutu yakni 2 mg kandungan BOD per liter. Kondisi yang tak jauh berbeda juga terjadi pada sungai di kawasan Sunggal. Yang lebih parah, kondisi pencemaran limbah domestik di sungai kawasan Hamparan Perak, dengan kandungan BOD mencapai sekitar 15 mg/liter. Itu baru kandungan BOD. Beban lingkungan pada sumber air PDAM Tirtanadi juga semakin berat akibat tercemar limbah industri dengan kandungan chemical oxygen dissolve COD. Ini lebih mengkhawatirkan lagi. Kalau standar ambang baku mutu yang dapat ditoleransi sebesar 10 mg/liter COD, kandungan COD di Sungai Deli kawasan Deli Tua sudah menyentuh titik tidak aman, yakni sedikit di atas 10 mg/liter, COD Sunggal hampir menyentuh ambang baku mutu meski masih di bawah 10 mg/liter. Yang sangat buruk, COD di Hamparan perak, hampir menyentuh 20 mg COD/liter air sungai. Kritis dari Hulu Wakadis PU Pengairan Sumut yang juga Ketua Dewan Air Sumatera Utara, Gindo Maraganti Hasibuan, menambahkan, Sungai Deli sebagai salah satu sungai yang menjadi sumber air masyarakat di Kota Medan juga terus-menerus mengalami penurunan kualitas dan kuantitas. Sungai sepanjang 82 km itu dengan daerah tangkapan hujan seluas 48.162 km2 tersebut kini kritis. Sungai tersebut kritis dari mulai hulu hingga hilir terjadi akibat perambahan hutan, alih fungsi lahan dan tekanan pertumbuhan penduduk. Dari seluruh luasan areal DAS Deli, terbesar digunakan untuk lahan pertanian sebanyak 16.154 hektar. Diikuti dengan sawah (8.143 ha), perkebunan tembakau (5.628 ha), permukiman (5.374 ha), kebun coklat/kelapa sawit/kelapa (2.284 ha) dan sebagainya. Sementara jumlah kawasan tangkapan air berupa hutan hanya 3.655 hektar (7,59%) dan kawasan belukar sebanyak 2.068 hektar (4,29%). Dari susunan pemanfaatan tersebut secara sekilas terlihat hutan yang seharusnya memilki luas + 30% sesuai UU Kehutanan No 19 Tahun 2002 tak lagi terpenuhi. Tak heran bila akhirnya luasan tersebut mengakibatkan Sungai Deli selalu membawa debit banjir + 315 m3/detik saat musim hujan dan + 10 -12 m3/det pada saat musim kemarau. ?Dengan demikian, saya memperkirakan neraca air Sungai Deli pada tahun 2008 akan semakin menurun hingga + 2,5 m3/detik,? tukas Gindo. Berdasarkan Laporan Pembangunan Manusia Bappenas, BPS dan UNDP pada tahun 2002, cakupan pelayanan air bersih secara nasional baru mencapai 55%. Sedangkan data PDAM Tirtanadi menyebut masyarakat di Propinsi Sumatera Utara baru terlayani air bersih 27%. Di Medan, jumlah penduduk yang sudah mendapat pelayanan air bersih masih 76% atau 320.000 sambungan. Menurut Subahri, tidak gampang mancapai Millennium Development Goals (MDG) pada 2015. ?Sulit sekali rasanya karena jumlah permintaan layanan air bersih akan meningkat dua kali dari jumlah sekarang dalam kurun 7 tahun mendatang,? ujar Subahri. Hal ini, sebut Subahri, berjalan seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk. Sehingga dibutuhkan peningkatan fasilitas air bersih untuk pelayanan kepada masyarakat. Diharapkan pada tahun 2008 akhir, PDAM Tirtanadi akan menambah satu intake untuk meningkatkan permintaan pelayanan air bersih bagi masyarakat. Bahkan direncanakan akan dibangun sebuah small dam di kawasan Lau Simei-mei (sub das Deli) untuk menjamin ketersediaan air masyarakat. Small dam tersebut baru bisa dibangun bila memang investor telah ada. Fasilitas tersebut direncanakan akan menyediakan sekitar 3 m3 air setiap detiknya. Menyangkut sungai-sungai golongan B, yakni sungai dengan klasifikasi sebagai sungai bahan baku air minum mestinya dibebaskan dari pencemaran. Jadi bukan soal mengapa ada fasilitas yang dibangun di mana sumber airnya sudah tercemar, tapi harus bertanya mengapa mereka membuang limbah dan mencemari air yang menjadi sumber air minum masyarakat. *erwinsyah/rizanul Post Date : 27 Maret 2007 |