Peduli Rakyat, Peduli Sanitasi (Nugroho Tri Utomo)

22 November 2012
Dibaca : 3812 kali

Sanitasi di Indonesia belum bisa dibanggakan.  Untuk cakupan layanan air limbah domestik sebesar 51,9% penduduk pada 2010, di kawasan Asia Indonesia cuma lebih baik dari Laos dan Timor Leste. Kondisi pengelolaan persampahan juga masih buram. Dari lebih 400 Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah yang ada, kurang dari 10 yang sudah ramah lingkungan – umumnya menggunakan sanitary landfill.  Sisanya masih menggunakan pembuangan terbuka (open dumping). Padahal UU18/2008 tentang Pengelolaan Sampah memandatkan batas waktu 2013 untuk tidak lagi menggunakan system open dumping ini. Untuk meningkatkan sistem drainase lingkungan juga masih perlu kerja keras. Masih 22,500 ha kawasan strategis di 100 perkotaan yang sering tergenang bila hujan yang harus ditangani sampai 2014.

Kondisi di atas tidak lepas dari sejarah panjang rendahnya kesadaran kolektif akan pentingnya pembangunan sanitasi di negeri ini. Anggapan bahwa sanitasi adalah masalah pribadi - sehingga masyarakat pasti akan mencari jalan sendiri untuk memenuhi kebutuhannya - telah membuat perhatian pemerintah terhadap pembangunan Sanitasi tidak sehebat sektor lainnya.

Selama 1970-1999, total investasi pemerintah pusat dan daerah untuk sanitasi hanya mencapai Rp 200,- per kapita per tahun. Angka ini memang meningkat selama 2000-2004 menjadi Rp. 2.000,-. Kita bersyukur 5 tahun terakhir investasi per kapita sanitasi ini terus ditingkatkan menjadi Rp. 5000,- per tahun. Namun ini masih cukup jauh dari kebutuhan ideal yang diperkirakan mencapai Rp. 47.000,- per kapita per tahun (studi Bappenas, 2008).

Angka investasi diatas memang baru yang berasal dari pemerintah, terutama Pemerintah Pusat. Padahal sanitasi seharusnya bukan hanya urusan pemerintah saja.  Sanitasi urusan sehari-hari. Tidak seorangpun yang tidak melakukan aktifitas sanitasi setiap harinya, mulai dari membuang limbah manusia, menghasilkan dan membuang sampah, serta melengkapi rumah atau huniannya dengan saluran air hujan atau drainase – betapapun sederhananya.

Faktanya, setiap harinya masih ada 70 juta orang di Indonesia yang melakukan praktik buang air besar sembarangan (Riskesdas 2009). Akibatnya sekitar 14.000 ton tinja (lebih berat dari 4.500 gajah sumatera) dan 176.000 m3 air seni (setara dengan 70 kolam renang ukuran olimpiade) setiap harinya mencemari saluran air, sungai, pantai, danau, tanah kosong, dll. Tidak heran seluruh sungai di Jawa dan 70% di Indonesia kualitas airnya tidak lagi memenuhi syarat yang ditetapkan Kementerian Kesehatan untuk digunakan sebagai sumber air minum. Akibatnya PDAM di Indonesia harus mengeluarkan biaya ekstra sampai 25% untuk mengolahnya menjadi air yang layak minum. 

Tidak heran pula kalau berbagai penelitian telah menemukan bakteri e-coli pada sekitar 75% air sumur dangkal di kota-kota besar di Indonesia. Artinya sudah tercemar oleh air tinja  manusia. Bisa  karena rembesan tangki septic, baik karena letaknya terlalu dekat ke sumur atau karena memang bocor. Tidak heran jika kasus diare saat ini masih mencapai 411 per 1.000 penduduk (Survei Morbiditas Diare Kemkes, 2010).

Daftar sebab akibat di atas bisa lebih panjang lagi. Rendahnya pelayanan sampah dan buruknya PHBS (perilaku Hidup Bersih dan Sehat) menyebabkan tumpukan sampah yang dipenuhi lalat, yang bukan hanya buruk secara estetik tapi juga menambah resiko penyebaran penyakit. Belum lagi kalau menyumbat saluran drainase.  Banjir dan genangan akan lebih sering terjadi dan pastinya kerugian ekonomi cukup tinggi.

Ringkasnya, untuk urusan sanitasi setiap orang berbuat, terlibat, dan terkena akibat. Jadi perlu bersepakat.

Kita perlu bersepakat bahwa Sanitasi adalah urusan bersama. Kebutuhan pembangunan sanitasi 5 tahun kedepan mencapai Rp. 56 Triliun. Alokasi pemerintah pusat baru mencapai Rp. 14,6 Triliun. Masih jauh dari mencukupi. Untuk pemerintah daerah, sekalipun sudah menjadi salah satu urusan wajibnya, umumnya baru mengalokasikan kurang dari 1% APBDnya untuk pembangunan sanitasi. Kelompok masyarakat, dunia usaha, bahkan rumah tangga sendiri juga perlu untuk dimobilisasi perannya dalam pembagunan sanitasi.

Semua pihak perlu diajak untuk meningkatkan investasi sanitasinya. Mengapa? Karena investasi sanitasi itu penting dan sangat menguntungkan. Berikut beberapa alasan:

Pertama: Menghindari pertumbuhan ekonomi semu. Studi yang dilakukan WSP bersama Bappenas (2008) menyimpulkan bahwa akibat sanitasi buruk, kerugian ekonomi negeri ini mencapai Rp. 58T setiap tahunnya. Ini setara dengan 2,1% PDRB saat itu yang kalau mau dihitung betul harusnya akan mengurangi laju pertumbuhan ekonomi. Ironis memang kalau kita harus kehilangan Rp. 58T per tahun karena kita memilih untuk tidak mengalokasikan Rp. 11,2T per tahun.

Kedua: Efek luar biasa peningkatan sanitasi pada kesehatan, pendidikan dan produktifitas. WHO memperkirakan bahwa kondisi dan perilaku sanitasi yang baik dan perbaikan kualitas air minum dapat menurunkan kasus diare sampai  94%. Artinya jumlah hari tidak masuk sekolah bisa berkurang 8 hari pertahun yang tentunya akan bermanfaat bagi perkembangan pengajaran dan pendidikan. Jumlah hari produktif dapat meningkat sampai dengan 17% yang berarti tambahan kesempatan untuk meningkatkan pendapatan juga.      

Ketiga: Membantu menurunkan kemiskinan. Akibat buruknya sanitasi, rata-rata keluarga di Indonesia harus menanggung Rp. 1.250.000 setiap tahunnya. Suatu jumlah yang akan sangat berarti bagi keluarga miskin. Biaya-biaya tersebut mencakup biaya berobat, biaya perawatan rumah sakit, hilangnya opportunity cost ataupun pendapatan harian akibat menderita sakit atau harus menunggui dan merawat anggota keluarga yang sakit.  Semakin sehat dan produktif seseorang, semakin besar kemungkinan untuk terbebas dari kemiskinan.

Keempat: Manfaat yang berlipat. Beberapa penelitian empiris di Indonesia  menunjukkan bahwa leverage factor  untuk investasi sanitasi mencapai 8 sampai 11. Artinya setiap Rp. 1 investasi sanitasi akan mendatangkan manfaat sebesar Rp. 8 sampai Rp. 11. Pengalaman  pembangunan Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM) di Jawa Timur selama 2008-2010 bahkan menunjukkan bahwa setiap Rp.1 yang dikeluarkan untuk memicu dan memampukan masyarakat telah berhasil menggerakkan investasi sanitasi dari masyarakat sendiri sampai sebesar Rp. 35.  Makin jelas bahwa pembangunan sanitasi itu investasi, bukannya membebani:

Kelima: Mencegah selalu lebih murah dari mengobati. ADB (2009) menyatakan bahwa kalau kita gagal menginvestasikan US$ 1 dollar untuk menangani sanitasi sehingga sungai kita tercemar,  untuk memulihkannya akan dibutuhkan biaya sebesar US$36. Sanitasi adalah upaya pencegahan masalahan kesehatan dan kerugian ekonomi yang sangat efektif.  Beberapa Kota/Kab. di Indonesia juga telah membuktikan bahwa investasi sanitasi diwilayahnya ternyata bisa menghasilkan penghematan pengeluaran dana pengobatan masyarakat dan asuransi kesehatan keluarga miskin yang lebih besar lagi.

Keenam: Percepatan pembangunan sanitasi sedang menjadi trend. Pemerintah telah mencanangkan program Percepatan Pembangunan Sanitasi Permukiman (PPSP) 2010-2014. Hingga saat ini 63 Kota/Kab. telah mengikuti program tersebut. Yang menarik, para Walikota dan Bupati yang terlibat telah membentuk suatu Aliansi Kabupaten/Kota Peduli Sanitasi (AKKOPSI) dan secara aktif mempromosikan kepada masyarakat dan kepala daerah lain akan pentingnya pembangunan sanitasi.  Investasi sanitasi Kota/Kab. yang telah terlibat dalam PPSP juga telah meningkat 2,5 – 10 kali lipat seperti tercantum pada anggaran sanitasi di APBD mereka. Minat untuk bergabung dengan PPSP juga terus meningkat. Hingga 2014, diharapkan paling tidak 330 Kota/Kab. akan bergabung.

Ketujuh: Peduli sanitasi, dicintai masyarakat. Di era politik seperti sekarang, dimana setiap pemilih punya satu suara, jangan dikira perhatian terhadap sanitasi tidak punya nilai politis. Sanitasi adalah urusan keseharian masyarakat. Memperhatikan sanitasi berarti memperhatikan hajat hidup masyarakat, Tanyakan saja pada Walikota Payakumbuh atau mantan Walikota Blitar yang pernah dengan bangga bercerita:” Saya ini terpilih untuk untuk kedua kalinya karena sanitasi!”.

 

Keterangan : Tulisan dimuat di Harian Jurnas bulan November 2010

Share