Kabupaten Bima, Mengantisipasi Pekerjaan Rumah Paska ODF

14 November 2013
Dibaca : 2020 kali

Di Indonesia, semakin banyak pihak menaruh kepedulian terhadap air minum dan sanitasi. Sayangnya, kepedulian dan aksi nyata yang dilakukan untuk kedua sektor tersebut seringkali masih sektoral, sendiri-sendiri.

Kabupaten Bima termasuk satu dari segelintir pemerintah daerah yang menyadari pentingnya payung hukum.  Peraturan Daerah (Perda) tentang Air Minum dan Penyehatan Lingkungan diterbitkan di tahun 2011 melalui Perda No. 7 Tahun 2011. Payung hukum ini menjadi lompatan penting dalam menyatukan berbagai kepentingan, sektor sekaligus masyarakat untuk mencapai tujuan bersama: menjamin keberlanjutan pelayanan air minum dan sanitasi.

Prestasi Kabupaten Bima dalam penerbitan regulasi AMPL mendulang penghargaan AMPL AWARD di tahun 2011. Keunggulan-keunggulan Kabupaten Bima ini menarik untuk ditengok kembali dalam satu kunjungan monitoring evaluasi yang diselenggarakan oleh Pokja AMPL Nasional, Senin- Selasa (11-12 November 2013) kemarin.

Dimpimpin oleh Ketua Sekretariat Pokja AMPL dari Direktorat Permukiman Perumahan Bappenas, Nurul Wajah Mujahid, sejumlah lokasi program air minum, sanitasi dan permukiman ditilik secara langsung di lapangan, dan sejumlah pihak ditemui dan diajak berdiskusi.

Kepala Bidang Sosial Budaya Bappeda Kabupaten Bima, Amar Ma’ruf, dalam pertemuannya dengan rombongan monitoring evaluasi dari Pokja AMPL menyatakan, “Sejak diberlakukannya Perda, semakin banyak dan semakin baik kerjasama lintas sektor di Bima. Semua pihak dari desa sampai tingkat pemerintah kabupaten mendukung upaya ini.” Terbitnya Perda menurut Amar Ma’ruf juga mendorong bermunculannya Peraturan Desa (Perdes) perihal kebersihan lingkungan.  

Gambar di atas :  foto kegiatan Bulan Bakti Gotong Royong X, yang menggaungkan komitmen tercapainya Bima sebagai Kabupaten ODF

Sanksi Sosial Paling Efektif

Kepala Bidang P2PL Dinas Kesehatan,  Kabupaten Bima, Tasmin Buchori, yang hadir dalam pertemuan koordinasi di Bappeda Lombok, Senin (11/11) kemarin mendukung pernyataan-pernyataan Amar Ma’ruf. Tasmin menceritakan sejumlah pencapaian yang dilakukan dalam meningkatkan angka bebas buang air sembarangan.

“Membuat masyarakat punya demand sanitasi sudah tak henti-henti kita lakukan. Dengan berbagai macam cara. Sanksi sosial yang paling efektif,” kata Tasmin.

Tasmin menceritakan sanksi-sanksi sosial yang cukup efektif ditempuh di sejumlah wilayah. Setiap upacara sekolah di hari Senin anak-anak yang rumahnya tidak memiliki jamban, dipisahkan dari mereka yang sudah berjamban. “Anak-anak jadi malu, lalu meminta orang tuanya membangunkan jamban agar setiap upacara bendera tidak lagi berdiri ditempat yang terpisah,” ujar Tasmin.

Kalau masih kedapatan buang air besar sembarangan, tak segan-segan petugas desa mengumumkan melalui pengeras suara di masjid. “Pada hari siang kemarin, si A sudah buang hajat sembarangan, maka dari itu A harus dihukum membersihkan kotorannya dan didenda sekian ribu... “jelas Tasmin menirukan.

Yang tak kalah menarik, keberangkatan haji dua tahun terakhir juga mensyaratkan kepemilikan jamban. “Kami sering diprotes jamaah haji dari Bima tidak bisa memakai toiet.  Oleh karena itu, sesiapa yang akan naik haji harus membuktikan mereka sudah punya jamban di rumahnya,” ujar Tasmin penuh semangat.

Semangat Tasmin mengkampanyekan STBM bersama jajaran pemerintah daerah Bima, staf dinas kesehatan hingga sanitarian dan wira usaha sanitasi membuahkan hasil yang luar biasa. Dari 179 desa di Kabupaten Bima, sejumlah 49 telah dinyatakan sebagai Desa Open Defecation Free (ODF) / Bebas Buang Air Besar Sembarangan.

Memelihara yang Rusak, Mengantisipasi Masalah ke Depan

Mengunjungi sumur air baru di Kecamatan Wawo yang baru dibangun dengan memanfaatkan dana DAK

Meningkatnya partisipasi dan kesadaran masyarakat meninggalkan praktik buang air besar sembarangan dan mulai membangun jamban bukan berarti pekerjaan sudah selesai. Permintaan tingginya pembangunan jamban tidak dibarengi dengan ketersediaan infrastuktur.

“Kami kewalahan dengan permintaan terhadap fasilitas sanitasi. Alat cor pembuat cetakan satu paket jamban dan tangki septik kami kekurangan,” kata Amar Ma’ruf.

Akhirnya, penggunaan alat cetak jamban harus digunakan secara bergilir. “Minggu ini, desa ini, minggu selanjutnya untuk yang meminta dari desa lain,” jelas Amar.

“Kewalahan” tak hanya soal alat cetak. Dalam rangkaian kunjungan lapangan ini, rombongan sempat bertemu dengan Camat Wawo. Yang dikunjugi kemudian menceritakan tantangan yang dihadapi paska deklarasi ODF.

“Kami butuh mobil sedot tinja. Setahun dua tahun lagi wc-wc masyarakat yang sudah terbangun ini akan penuh. Apabila tidak diantisipasi sejak sekarang, masalah akan muncul disitu,” jelas Camat Wawo, Muh. Rum.

Kecamatan Wawo, adalah kecamatan pertama yang berhasil mendeklarasikan dirinya sebagai Kecamatan ODF di Kabupaten Bima.

“Mobil penyedot tinja ini tidak perlu besar, asal muat masuk ke jalan-jalan di kampung,” tambah Muh. Rum.

Keberlanjutan sarana air minum dan sanitasi kemudian menjadi pekerjaan rumah tersendiri. Tanpa strategi keberlanjutan, tak hanya soal sarana rusak yang bisa menjadi masalah, tapi memperhitungkan kebutuhan masyarakat selanjutnya juga sangat penting.

“Setelah satu desa ODF,  bukan berarti permasalahan akan selesai. Betul sekali yang dijelaskan Pak Camat tadi, masalah baru akan muncul. Kemampuan melihat dan mengantisipasi hal ini menjadi sangat penting,” kata Nurul Wajah, ketua rombongan monitoring evaluasi Pokja AMPL Nasional.

Nurul mencontohkan, memberikan insentif terhadap desa-desa yang mampu memelihara sarana yang terbangun bisa ditempuh. “Melalui lomba-lomba desa yang dilakukan secara rutin setiap tahun di Kabupaten Bima ini juga sangat baik,” tambah Nurul.  

Cerita di Desa Sari, Kecamatan Sape Kabupaten Bima juga hampir sama. Setelah sarana air minum yang dibangun dengan proyek WSSLIC di tahun 2007, banyak meteran air yang rusak.

Meski kerusakan meteran air belum dicarikan solusi, sarana masih bisa digunakan. Desa Sari bahkan mampu mensubsidi kebutuhan air desa lain.

“Iuran per rumah ditarik hanya Rp. 3000 per bulan. Kami juga jual air ke swasta. Setiap bulan tangki air harus setor 1 juta,” jelas Kepala Desa Sari.

Kelompok Pengelola dan Pemeliharan (KPP) berperan besar dalam pemeliharaan sarana ini. Meskipun kurang maksimal, karena meteran banyak yang rusak, tapi pada dasarnya masih bisa terpakai,” jelas Kepala Desa.

Memberdayakan Kelompok Pengelola

Kunjungan lapangan di sejumlah program-program air minum dan permukiman di Kabupaten Bima melahirkan sejumlah rekomendasi penting. Penguatan kelembagaan Kelompok Pemanfaat dan Pengelola (KPP) merupakan salah satunya. “Kelompok pemanfaat atau badan pengelola harus diberdayakan, baik melalui pembelajaran horizontal atau pendampingan dari pemerintah daerah,” kata Nurul.

Nurul juga menggarisbawahi ada sarana-sarana yang sudah rusak dan tak terpakai, di wilayah Kabupaten Bima. “Ada sarana yang teronggok tak terpakai, yang sebetulnya masih bisa dimanfaatkan. Ini yang membedakan apabila kelompok pengelola di suatu lokasi berdaya,” ujar Nurul.

Menurut Nurul hanya melalui tarif iuran yang lebih baik, dan kapasitas yang meningkat para anggota pengelolanya, masalah-masalah yang lahir kemudian selayaknya dapat diantisipasi. “Pemda mendukung, masyarakat berdaya secara mandiri. Ini akan menjadi kunci penting mempersiapkan tantangan Paska ODF,” pungkasnya.

(Nissa Cita)

 

Share