Apakah Fasilitator STBM Sudah Terampil Memicu? (Wano Irwantoro, WSP )

11 April 2013
Dibaca : 11331 kali

Pelaksanaan STBM dilakukan dengan menggunakan tiga komponen pendekatan, yaitu penciptaan lingkungan yang mendukung (enabling environment), penciptaan kebutuhan (demand creation) dan peningkatan penyediaan (supply improvement). Dalam upaya penciptaan kebutuhan, ada dua metode yang digunakan, yaitu metode promosi dan metode pemicuan. Metode promosi menggunakan berbagai media seperti audio, video/film, bahan cetak (booklet, leaflet, komik, poster, koran, dan lain-lain), seni peran atau pertunjukan, baik tradisional maupun modern. Sementara metode pemicuan menggunakan pendekatan yang biasa dikenal dengan nama community led total sanitation (CLTS).

Kemampuan fasilitator dalam menerapkan pendekatan ini menjadi salah satu faktor penentu keberhasilan di lapangan. Kemampuan untuk menerapkan berbagai perangkat CLTS termasuk kemampuan komunikasi untuk menyampaikan elemen-elemen pemicu? dapat dilatih secara terus-menerus dan akan semakin terasah dengan seringnya fasilitator memicu di lapangan.

Meskipun pelatihan CLTS sudah banyak dilaksanakan, dan banyak pula yang telah dilatih sebagai fasilitator CLTS, tetapi bagaimanakah hasilnya? Apakah fasilitator yang sudah dilatih tersebut betul-betul sudah memiliki keterampilan atau kemampuan memicu?

Evaluasi kualitas pemicuan salah satunya bisa menggunakan Checklist Indikator Kualitas Proses CLTS yang dikembangkan melalui pengalaman proyek Total Sanitation and Sanitation Marketing (TSSM) di Indonesia. Checklist ini bermanfaat untuk evaluasi diri oleh fasilitator sendiri maupun oleh Dinas Kesehatan Provinsi dan Kabupaten atau lembaga lain untuk mengumpulkan informasi sebagai dasar mengadakan pelatihan penyegaran tahunan bagi para fasilitator CLTS.

Enam tahapan proses yang perlu dievaluasi yaitu:

1. Keputusan untuk memicu ataupun tidak memicu

Keputusan untuk melakukan pemicuan ataupun tidak dapat dinilai melalui seberapa banyak kondisi berikut terpenuhi:

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Jika semua persyaratan terpenuhi, maka kemungkinan pemicuan akan berhasil. Jika kondisi c dan d tidak terpenuhi, mungkin lebih baik untuk menunda memicu dan bekerja dengan kepemimpinan masyarakat untuk menciptakan kondisi yang lebih menguntungkan dulu.

2. Perangkat CLTS yang Digunakan

Evaluasi mengenai perangkat CLTS dilakukan dengan menilai berapa banyak kondisi berikut dipenuhi.

Dalam penerapan CLTS di lapangan, tidak ada keharusan untuk menggunakan seluruh perangkat seperti disebutkan di atas. Namun, hasil action research yang dilaksanakan di Jawa Timur menunjukkan bahwa pada komunitas yang cepat mencapai ODF (rata-rata membutuhkan waktu 2 bulan untuk mencapai ODF), perangkat CLTS yang digunakan lebih banyak dibandingkan pada komunitas yang lambat ODF (rata-rata membutuhkan 7-12 bulan hari untuk mencapai ODF) atau yang belum ODF. Penggunaan setiap perangkat CLTS sebaiknya menyesuaikan karakteristik masyarakat, termasuk situasi, kondisi dan kebiasaannya. Sebagai contoh, penggunaan perangkat simulasi pencemaran air pada masyarakat yang biasa BABS di darat (kebun/hutan/tegalan) akan lebih cocok dengan simulasi meminum air di dalam gelas yang tercemar tinja melalui lalat. Sedangkan pada masyarakat yang biasa BABS dan melakukan aktivitas sehari-hari (mandi/cuci/gosok gigi) di sungai, maka akan lebih tepat simulasi air dalam ember yang tercemar tinja untuk mencuci muka atau berkumur. Demikian pula dengan penggunaan perangkat lainnya perlu disesuaikan. Karena itu pada tahap pra pemicuan diperlukan observasi awal pada komunitas yang akan dipicu. Pemilihan lokasi untuk proses pemicuan juga perlu dipersiapkan untuk menggunakan perangkat dengan lebih leluasa.

Penggunaan lebih banyak perangkat dalam proses dapat memberikan kesempatan lebih besar untuk upaya pemahaman dan analisa terhadap kondisi lingkungan dan perilaku buruk sasaran. Di samping itu, beragam perangkat tersebut dapat lebih membangkitkan elemen-elemen pemicu seperti munculnya rasa jijik, malu, tidak nyaman/risih, harga diri/gengsi, dll. Dengan demikian, keinginan dan komitmen untuk segera berubah dapat timbul pada diri sasaran baik perorangan maupun kolektif komunitas. Perlu diperhatikan disini bahwa tools CLTS adalah alat bantu untuk memicu perbahan perilaku, bukan suatu ritual yang harus dilaksanakan.

3. Efektivitas Pemicuan

Evaluasi efektivitas pemicuan yang dilakukan adalah dengan menilai seberapa banyak kondisi berikut terjadi.

 

4. Kunjungan tindak lanjut 1 minggu setelah pemicuan

Kesuksesan proses pemicuan yang dilihat pada kunjungan tindak lanjut 1 minggu pasca pemicuan dapat dinilai melalui beberapa hal berikut.

5. Kunjungan tindak lanjut 1 bulan setelah pemicuan dan secara berkala sesudahnya sampai ODF

Kualitas pemicuan dapat dilihat pada saat kunjungan tindak lanjut dilakukan untuk mengkaji hasil/dampak dari kunjungan 1 minggu pasca pemicuan, dengan melihat beberapa hal berikut.

Jika hal-hal tersebut di atas belum terjadi, fasilitator perlu memberikan informasi/ide/contoh kegiatan dari komunitas lain untuk membantu memecahkan kebuntuan.

6. Kunjungan pengecekan acak (secara regular 6 bulan-1 tahun) setelah verifikasi dan pencapaian status ODF

Kualitas pemicuan dapat dinilai dengan melakukan beberapa hal berikut.

  • Amati kondisi sekeliling rumah dan lingkungan pemukiman (pinggiran sungai, saluran air dan sungai, kolam ikan, saluran irigasi, lahan pertanian, jurang) untuk melihat tanda-tanda masih terjadinya BABs atau tidak.
  • Memeriksa catatan kepemilikan jamban untuk mengkonfirmasi 100% kepemilikan terhadap sanitasi/jamban sehat.
  • Amati sampel acak 10% dari fasilitas rumah tangga permanen dan semi permanen - seberapa baik sarana tersebut digunakan dan dipelihara dan sarana tersebut masih dalam kondisi aman/baik?
  • Tanyakan bagaimana perilaku BABs/OD dapat dideteksi dan ditangani, jika ditemukan.
  • Tanyakan apakah ada yang pernah ketahuan OD dan tindakan apa yang diambil sebagai hukuman (jika tidak ada yang pernah tertangkap, ada kemungkinan karena kurangnya upaya pemantauan perilaku OD).
  • Diskusikan dengan desa dan kepala dusun bagaimana agar mereka dapat mencegah masyarakat tergelincir kembali ke perilaku OD dan mereka bisa kehilangan status ODFnya.

Catat dan laporkan pembelajaran yang diperoleh kepada pihak Puskesmas/ kecamatan/fasilitator lainnya. Jika ditemui kecenderungan penurunan kualitas sarana jamban sederhana, diskusikan kemungkinan upaya peningkatan kualitas jamban atau masuknya pengusaha sanitasi di komunitas tersebut.

Ditulis oleh: Wano Irwantoro (WSP)
Kontak: wirwantoro@worldbank.org

Share