Mengubah pola aksi lewat kegiatan yang bersifat komunitas. Melebur jadi gaya hidup dari pinggiran Ciliwung, kaki Gunung Merapi, hingga di tengah hiruk-pikuk kota Surabaya.
Pagi yang cerah, udara pun sejuk dan bersih. Belasan orang beriringan menuju pinggir Sungai Ciliwung di sisi Perumahan Cilebut Bumi Pertiwi, Bogor. Usia mereka beragam. Ada yang masih anak-anak, remaja, serta orang tua, lelaki dan perempuan.Jangan salah sangka, mereka tak hendak ke tempat rekreasi. Pada Minggu pagi, pertengahan Juni lalu, mereka siap membersihkan Sungai Ciliwung dari sampah rumah tangga.
Hariyono, warga Perumahan Cilebut Bumi Pertiwi, didaulat untuk memimpin ekspedisi pemulungan sampah kali itu. Mereka berkumpul di tempat lapang untuk sebuah ''ritual'' sebelum memulai aksi pemulungan. Hariyono memberikan pengarahan soal sampah yang mesti dikumpulkan. Setelah pengarahan, diawali doa bersama untuk memohon agar tak ada yang celaka, mereka berpencar sembari membawa sebuah karung plastik.
Untuk memulung sampah, kaki mesti menapaki bebatuan licin. Berbekal sebilah bambu, mereka mengukur kedangkalan air untuk mencari batu pijakan. Yang paling sulit pengambilannya adalah sampah yang melilit di bebatuan atau yang masuk ke ceruk bebatuan. ''Saya mesti menyelam untuk memulungnya,'' kata Hariyono.
Bapak dua anak yang juga anggota pencinta alam itu hampir selalu turun dalam pemulungan.Kalau tak ada kegiatan yang amat penting, ia tidak pernah absen. ''Ini kegiatan sederhana tapi sangat berarti,'' begitu alasannya. Kali itu, Hariyono cs berhasil mengumpulkan 40 karung sampah.
Para pemulung sampah sungai itu tergabung dalam Komunitas Peduli Ciliwung(KPC). Sejak Maret lalu, mereka rutin memulung sampah di Ciliwung saban minggu. Kegiatan itu bermula dari keresahan Hapsoro, seorang anggota LSM lingkungan Telapak, Bogor. Ia prihatin atas kondisi Sungai Ciliwung yang dipenuhi berbagai sampah, terutama sampah rumah tangga. Dibantu teman-temannya di Telapak, Hapsoro bertekad mengajak masyarakat untuk memulung sampah tiap minggu.
Dari survei awal diketahui, ada sembilan titik kumpulan sampah. Mereka pun memulai dari yang paling dekat dengan permukiman di dekat kota agar terlihat banyak orang. ''Untuk menggugah kesadaran warga,'' ujar Hapsoro. Cara itu cukup jitu. Kalau di masa awal cuma berempat, berikutnya ada belasan yang bergabung. Hasilnya, jika semula cuma belasan karung plastik berukuran 50 kilogram, kini meningkat menjadi puluhan.
Sampah itu lantas dikumpulkan di lapak pengepul sampah hasil kerja pemulung profesional. Hapsoro memang menjalin kerja sama dengan si pengepul. Di lapak itu sampah dipilah-pilah. Sampah plastik yang bisa didaur ulang dikumpulkandan dijual. Hasilnya dibagi dua dengan pengepul. Sedangkan sampah lain ditempatkan di wadah tersendiri untuk dibuang ke tempat pembuangan akhir (TPA).
Dana bagi hasil dipakai untuk operasional pemulungan sampah. Misalnya membeli karung dan biaya pengangkutan. ''Kami juga iuran sukarela,'' kata Hapsoro. Tak begitu besar, sekadar Rp 2.000 hingga Rp 10.000.
Perhatian pemerintah pun mulai tampak. Setidaknya, Dinas KebersihanKota Bogormenyediakan truk pengangkut sampah. Karena jumlah sampah yang terkumpul kian berjibun, mencapai 50-an karung setiap kali pemulungan, sampah tak lagi dibawake lapak pengepul. Sampah itu langsung diangkut menggunakan truk menuju TPA.
Hapsoro yakin, suatu ketika nanti, masyarakat bakal menyadari pentingnya Ciliwung bersih. Jika sudah melakukan pemulungan sampah dua-tiga kali di lokasi yang sama, ia lantas mengajak warga sekitar untuk bergabung. ''Dengan begitu, mereka melihat kesungguhan komunitas ini dan mereka juga saling mengenal,'' tutur Hapsoro, yang juga aktivis Green Peace.
Komunitas Peduli Ciliwung di Bogor merupakan fenomena baru yang digalang para pencinta lingkungan. Mereka tak sekadar melakukan aksi pemulungan sampah, melainkan juga membudayakan sebuah gaya hidup. Aksi berbau lingkungan menjadi sarana untuk berinteraksi sesama anggota komunitas. Begitulah tren baru yang kini banyak dianut kalangan pencinta lingkungan se-Tanah Air.
Komunitas lain yang sedang digandrungi anak muda di wilayah Jawa Tengah adalah Rumah Baca Komunitas Merapi (RBKM). Markasnya di Dusun Gemer, Ngargomulyo, Dukun, Magelang. Dari jalan raya Magelang-Yogya di Muntilan, jaraknya sekitar 20 kilometer. Desa yang warganya pernah dievakuasi ketika Merapi bergejolak itu menjadi desa tertinggi dan terakhir sebelum masuk kawasan Merapi.
RBKM didirikan dan dikelola oleh Sukisno, dibantu dua kerabatnya. Sukisno asli Gemer, kelahiran 30 April 1974. Ia hanya tamatan SD dan bekerja mencari rumput untuk ternak orang lain dengan keuntungan bagi hasil. Sukisno punya sawah setengah kesuk, atau sekitar seperdelapan hektare. ''Dua kali panen terakhir gagal,'' ujar suami Tarmiyati, 29 tahun, dan ayah Dedi Setiawan, siswa kelas II SD Kanisius, itu.
Suatu hari, Sukisno mendengar cerita anaknya. Karena kurang guru, Dedi dan teman-temannya kerap diberi catatan, lantas ditinggal sang guru mengajar di kelas lain. ''Saya prihatin, apa anak bisa mudeng,'' katanya, dengan logat Jawa yang kental, kepada Arif Koes Hernawan dari Gatra. Rasa prihatin itu akhirnya membuahkan tekad untuk mendirikan perpustakaan di kaki Gunung Merapi.
Dibantu Stevi Sundah, pendiri Rumah Baca Rumbia di Wonosobo, pada akhir 2008 Sukisno merelakan pekarangannya seluas 8 x 3 meter dipakai untuk membangun perpustakaan sederhana dengan biaya Rp 4 juta dari kocek pribadi Sukisno. ''Ini cara ngamal saya, wong nggak bisa mulang (mengajar),'' katanya.
Pada Januari 2009, RBKM dibuka untuk umum. Motonya: membaca adalah ibu pengetahuan. Terdapat bermacam-macam buku di sana yang bisa dipinjam secara gratis dalam waktu seminggu. ''Tak usah pakai daftar,'' tutur Sukisno. Kini RBKM punya sekitar 600 koleksi buku sumbangan pribadi dan lembaga, seperti Komunitas Merapi dan beberapa lembaga lain, termasuk dari Jerman. Semua itu berkat adik Sukisno yang sedang kuliah di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
Selain untuk rumah baca, RBKM juga menyajikan perspektif lain bagi anak-anak dan remaja untuk mencintai lingkungan. Misalnya, lewat acara "Ngelmu Pring" yang digelar awal Mei lalu. Kegiatannya berupa dongeng, sulap, dan membaca bersama cerpenis lokal. Semua materinya tak jauh dari cinta lingkungan. Pada Agustus nanti, RBKM berencana menggelar hiking ke Merapi. ''Anak-anak diajak menjelajah Gunung Merapi dan menulis apa yang mereka temui dalam perjalanan,'' ujar Sukisno.
Bila di kaki Gunung Merapi bercokol Rumah Baca Komunitas Merapi, di tengah hiruk-pikuk kota Surabaya berkumpul kelompok kecil yang tergabung dalam wadah Rumah Komunitas Lingkungan. Komunitas yang disingkat Rokum itu dilahirkan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jawa Timur.
Aksi yang dilakukan kelompok ini cukup unik. Mereka menggelar pelbagai festival lingkungan dan tiap minggu menonton bareng film-film bertema lingkungan. Menurut pendiri Rokum, Bambang Catur Nusantra, program pemutaran film itu dimaksudkan untuk memberikan kesadaran kepada masyarakat tentang pentingnya lingkungan hidup.
Komunitas itu berdiri pada akhir 2005. Ketika itu, kata Catur, yang kini menjabat sebagai Direktur Eksekutif Walhi Jawa Timur, kesadaran masyarakat akan lingkungan sangat minim. Masyakarat yang peduli lingkungan tidak bisa berbuat banyak karena kekuatannya terpencar. ''Akhirnya kami mendirikan wadah ini sebagai wilayah bersama bagi para pemerhati lingkungan," katanya kepada M. Nur Cholish Zaein dari Gatra.
Rokum ibarat ''tong sampah'' yang menampung perbagai jenis komunitas, baik petani, pelaut, seni, mahasiswa, dan lain-lain. Catur dan kawan-kawannya kerap mengundangpara petani di Surabaya dan sekitarnya, nelayan Kenjeran, dan beberapa eleman mahasiswa pencinta lingkungan di Surabaya untuk berdiskusi di markas Rokum, di Jalan Ngagel Dadi I Nomor 1, Surabaya.
Agar menarik, para relawan itu diajak menonton film, yang kemudian didiskusikan bersama. Sesekali mereka menggelar pelbagai festival, seperti festival seni lukis, budaya, hasil produk pertanian, dan kelautan. ''Semuanya bertema lingkungan,'' ujar Catur. Menurut dia, Rokum yang kini markasnya berada di tujuh tempat sekitar Jawa Timur, juga melakukan pendampingan terhadap masyarakat yang membutuhkan pertolongan.
Begitulah cara aktivis lingkungan bersosialisasi. Mereka berupaya meleburkan rasa peduli lingkungan ke dalam gaya hidup untuk melawan hedonisme yang kian menjalari kehidupan masyarakat negeri ini. Heru Pamuji dan Syamsul Hidayat
Post Date : 12 Agustus 2009
|