Yogyakarta Dikepung Sampah

Sumber:Koran Sindo - 28 Maret 2011
Kategori:Sampah Luar Jakarta

YOGYAKARTA– Sampah di Kota Yogyakarta, Sleman dan Bantul (Kartamantul) menjadi persoalan serius yang harus segera ditangani. Tempat pembuangan sampah di TPA Piyungan hanya mampu menampung hingga 2012.

Volume sampah yang dihasilkan dari rumah tangga, pasar, pertokoan, instansi dan sektor lainnya jumlahnya sangat banyak. Pasokan sampah yang ”menggunung” ini tak sebanding dengan daya tampung tempat pembuangan akhir (TPA). Saat ini,TPA Piyungan seluas 12,5 hektere yang berada di Dusun Ngablak, Sitimulyo kondisinya sudah penuh sesak. Apalagi, dalam sehari volume sampah yang disetorkan ke TPA Piyungan jumlahnya mencapai 400 ton.

Dari jumlah tersebut, Yogyakarta menyumbang sampah paling banyak, yakni 55%, Sleman 30% dan Bantul 15%.Pada hari-hari tertentu, misalnya hari libur (banyak event) volume sampah bisa meningkat dua kali lipat dari hari biasanya. Jika tidak segera ditangani,maka sampah dari wilayah Kartamantul terancam tak bisa bisa dibuang. Office Manajer Sekretariat Bersama (Sekber) Kartamantul Ferry Anggoro mengungkapkan usia TPA Piyungan tinggal setahun atau hanya sampai pada 2012 mendatang. Dia menyatakan,Pemprov DIY sudah menyiapkan lima hektare tanah untuk menambah luasan TPA Piyungan. Namun,perluasan itu hanya untukmembangununitpemilihan sampah.

”Kita sedang memikirkan unit pengolahan sampah. Itu paling mungkin dilakukan dari pada untuk menambah luasan area,”katanya,kemarin. Menurut dia, unit pemilihan sampah tersebut nantinya untuk mengolah sampah organik untuk dijadikan kompos, sehingga bisa dimanfaatkan untuk pemupukan. Mesin untuk komposing (pembuatan kompos) saat ini sudah ada dan siap digunakan jika tambahan lima hektare sudah beres. Ferry memaparkan, Pemerintah Jepang sebenarnya sudah bersedia memberi bantuan berupa alat pengelolahan sampah. Namun, administrasinya terkendala pada regulasi, di mana belum ada perundangan yang mengatur tentang kerja sama langsung antara pemerintah Jepang dengan DIY.”Jepang sudah siap, namun kita selesaikan dulu administrasinya. Terlambat admisnistrasinya lebih baik dari pada nanti menjadi persoalan di kemudian hari,” ungkapnya.

Menurut Ferry yang lebih penting dilakukan adalah menekan volume sampah pada sumbernya, entah dari rumah tangga, pasar, instansi atau toko modern. Keberadaan TPA Piyungan, lanjut dia, selama ini juga terbantu dengan banyaknya ternak waga yang sengaja digembala di sekitar lokasi pembuangan sampah. Ada ratusan ekor sapi dan kambing yang ikut memakan sampah-sampah di TPA Piyungan, sehingga bisa mengurangi volume sampah yang ada. Namun, sebenarnya keberadaan ternak-ternak tersebut tidak direkomendasikan.” Jadi,sebelum ternak itu dikomsumsi, harus diisolasi atau diberi makan rumput segar dulu selama 3-5 bulan baru bisa disembelih atau dikonsumsi,” jelasnya.

Langkah lain yang dilakukan untuk mengatasi masalah sampah adalah dengan membentuk dan memaksimalkan komunitas pengolahan sampah secara mandiri. Komunitas ini memiliki peran dalam menyaring, memilah jenis sampah sebelum dibuang ke muara akhir. ”Program inilah yang disebut 3R (reduce,reuse, recycle),”tegasnya. Perkembangan pengolahan sampah mandiri di tiga daerah tersebut meningkat pesat seiring kesadaran warga yang sudah tumbuh. Dia mencontohkan, di Kota Yogyakarta saja pada akhir tahun lalu hanya berjumlah 100 titik pengolahan sampah mandiri, di Sleman ada 125 titik dan Bantul 20 titik.

Dalam setahun, keberadaan pengolahan sampah mandiri selama ini berhasil mengurangi volume sampah yang dibuang ke TPA Piyungan hingga 8 juta kilogram sampah. Jika pada 2009, volume sampah yang masuk ke TPA Piyungan mencapai 120 juta kilogram, maka pada 2010 ini hanya 112 juta kilogram. Pengolahan sampah mandiri bisa dimanfaatkan warga di Kota Yogyakarta. Di beberapa RW,menyiapkan kantong atau titik untuk pengumpulan sampah anorganik untuk didaur ulang kemudian disulap menjadi handycraft atau kerajinan.

”Sampah anorganik dikumpulkan di sini, sedangkan sampah organik dikumpulkan di tempat terpisah lalu dibuang ke TPA oleh petugas kebersihan,” kata Ahmad,warga Wirogunan, Mergangsan, Yogyakarta. Dia mengatakan, sampah anorganik seperti plastik atau logam kemudian didaur ulang lalu dibuat kerajinan seperti tas,hiasan dinding,vas bunga, asbak dan lainnya. ”Selain sudah tumbuh kesadaran warga untuk mengurangi volume sampah, langkah ini juga melatih kreativitas warga untuk berkarya dari bahan-bahan bekas,”ungkapnya.

Menurut Ahmad, bahanbahan bekas yang disulap sebagai kerajinan tangan itu sudah pernah dipamerkan dalam Mergangsan Expo dalam rangka HUT Kota Yogyakarta. ridwan anshori/ fefi tri kurnia



Post Date : 28 Maret 2011