|
Jakarta, Kompas - Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia menampung berbagai pengaduan pelanggan air bersih atau air minum di Jakarta terkait dengan kebijakan kenaikan tarif sebesar 17,32 persen. Hingga Senin (2/1), tercatat puluhan warga mengadu atas kerugian yang timbul akibat pelayanan kebutuhan air bersih masih buruk. YLKI (Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia) membuka peluang warga sebanyak-banyaknya untuk mengadukan pelayanan air minum yang masih buruk untuk menggugat Gubernur DKI Sutiyoso yang menetapkan kenaikan tarif 17,32 persen, kata Ketua Pengurus Harian YLKI Indah Suksmaningsih. Atas kenaikan tarif air bersih, lanjut Indah, publik telah memberikan hak tersebut kepada operator PT PAM Lyonnaise Jaya dan PT Thames PAM Jaya sebagai dua mitra asing. Namun, hak publik untuk mendapatkan standar pelayanan selama ini tidak diberikan. Seharusnya, standar pelayanan air bersih juga disertakan. Standar itu misalnya mengenai kualitas maupun intensitas air bersih yang dapat diterima pelanggan. Selama standar itu tidak terpenuhi, publik memiliki hak mendapat ganti rugi. Dari perkiraan 11 sampai 12 persen pelanggan air bersih di Jakarta, atau sekitar 75.000 pelanggan, hingga saat ini tidak mendapat layanan air bersih optimal, kata Indah. Rencana menggugat Sutiyoso, lanjutnya, bukan bertujuan mencapai menang atau kalah, tetapi dapat mengetahui sejauh mana sikap pemerintah memperjuangkan pelayanan publik yang optimal. Sudaryatmo, anggota Pengurus Harian YLKI yang membidangi masalah hukum, mengatakan, Sutiyoso telah menempuh kesalahan fatal dengan menyetujui kenaikan tarif air bersih sebesar 17,32 persen tanpa meminta standar pelayanan publik. Mestinya pelanggan mendesak supaya standar pelayanan diberikan. Selain itu, dengan cara menggugat secara berkelompok (class action) atau secara politis, mendesak Gubernur membatalkan kenaikan tarif, katanya. Secara terpisah, Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta Uli Parulian Sihombing juga mendesak agar Sutiyoso membatalkan penetapan kenaikan tarif air bersih sebesar 17,32 persen. Kebijakan Gubernur DKI dalam menaikkan tarif air bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang Hak Uji Materiil atas Undang- Undang Sumber Daya Alam Nomor 7 Tahun 2005, kata Uli. Konsumen atau pelanggan air, lanjut Uli, seharusnya tidak turut menanggung harga produksi dan keuntungan atas pengusahaan air. Sebab, air ditempatkan sebagai bukan obyek yang dikenai harga secara ekonomis. Dalam putusan MK juga dijelaskan secara tegas pada halaman 193, pengelolaan sumber daya air harus transparan dan melibatkan unsur masyarakat dalam perhitungannya, kata Uli. Kebijakan Sutiyoso dalam hal ini dinilai tidak melibatkan masyarakat karena tidak ada partisipasi masyarakat secara penuh untuk menentukan perhitungan tarif air. (NAW) Post Date : 03 Januari 2006 |