|
Sudah memiliki pekerjaan dengan gaji lumayan, tetapi justru keluar dan berburu barang bekas seperti pemulung, itulah Yeyen Komalasari (28). Yeyen mengambil pilihan tersebut selain karena tidak merasa cocok dengan pekerjaannya sebagai karyawan administrasi keuangan di sebuah perusahaan, juga karena dia yakin memiliki kemampuan kreatif. Maka, Yeyen menyulap limbah kulit sintetis penyaring debu bijih besi PT Krakatau Steel menjadi barang kerajinan yang cantik dan fungsional. Pilihan terhadap limbah dari PT Krakatau Steel itu bukannya asal-asalan. Salah satu alasan Yeyen adalah karena rumahnya di Perumahan Sankyu, Serang, Banten, memang tak jauh dari perusahaan baja nasional itu. Dari limbah tersebut Yeyen mengkreasikan berbagai macam produk, yaitu beraneka barang kebutuhan sehari-hari, seperti tas, dompet, wadah telepon genggam, sajadah, gantungan kunci, cincin, juga gelang. Produk yang paling sering menarik perhatian adalah helm berlapis kulit sintetik pada permukaan luarnya. Barang-barang itu dijual dengan kisaran harga mulai dari Rp 1.000 untuk cincin hingga lebih dari Rp 100.000 per buah untuk tas dan helm. Sesuai dengan bahan dasarnya, warna semua produk hanya satu macam, yakni coklat muda. Warna ini pun didapat setelah limbah tersebut dicuci berulang kali menggunakan sabun detergen. ”Dari proses awal sampai akhir, sekitar 20 kali pencucian,” ujar lulusan diploma dua jurusan pariwisata itu. Untuk mempercantik penampilan produk, Yeyen menambahkan berbagai bentuk ukir-ukiran pada bagian permukaan produknya. Pada produk berukuran kecil seperti wadah telepon genggam, gambar yang terukir tergolong sederhana, seperti garis pendek-pendek atau polkadot. Sedangkan pada produk berukuran besar, seperti tas dan helm, terukir gambar yang lebih rumit seperti naga, tengkorak, dan bunga-bunga. Ia memakai kata kerja mengukir karena hasilnya adalah permukaan yang diukir lebih cekung daripada permukaan yang tidak diukir. ”Saya menggambar polanya. Proses mengukir sepenuhnya dikerjakan kakak saya, Abu Sofyan,” ujar Yeyen. Dengan proses khusus, pola yang diukir memiliki warna coklat tua. Gradasi warna yang tajam dengan bagian yang tak diukir memperjelas pola yang digambar Yeyen. Mengikuti pemulung Yeyen menempuh proses cukup panjang untuk bisa menghasilkan produk yang kini diberi merek G-One itu. Ia mengawalinya pada tahun 2004, yakni beberapa saat setelah keluar dari pekerjaannya. Tidak bekerja membuat persediaan uang Yeyen menipis. Ia pun putar otak dengan tujuan menghasilkan uang secara halal. Saat itu ia berpikir untuk membuat sesuatu dengan bahan dasar limbah. ”Saya belum tahu limbah apa yang bisa saya pakai. Saya hanya berpikir, bahan limbah pasti lebih murah. Maklum, saat itu modal saya sangat terbatas,” ujar Yeyen yang memulai usahanya dengan modal Rp 200.000. Ia memulai langkahnya dengan mengikuti pemulung dan mengamati barang-barang yang mereka buru. Hal ini membuat ia dicurigai para pemulung, bahkan sempat dikejar-kejar. Ketekunan Yeyen tak sia-sia karena ia kemudian menemukan limbah kulit sintetis yang ia yakin dapat dibuat sesuatu. Setelah menemukan materi tersebut, Yeyen kemudian memesan limbah itu kepada para pemulung. Setelah menemukan materi, langkah berikut adalah menemukan cara membuat ragam hias di atas materi tersebut. Ia sempat menggunakan spidol, tetapi, gambar itu luntur saat dicuci. Percobaan Yeyen sangat terbantu Abu Sofyan yang mencoba menempelkan kain sintesis itu pada helm lalu mengukirnya. Abu juga mencoba membuat kaligrafi dengan bahan tersebut. Setelah helm dan kaligrafi, terpikirkan oleh Yeyen untuk membuat sajadah dan tas. Saat itu ia belum punya mesin jahit. Jadi, ia menggunakan pelubang kertas dan pita untuk menempelkan bagian-bagian kain sintetis tersebut. ”Ada juga calon pembeli yang menginginkan tas yang dijahit. Untuk memenuhi permintaan itu, saya mengeluarkan biaya tambahan sebab proses penjahitan saya serahkan kepada orang lain,” kata Yeyen. Setelah menabung sekitar satu tahun, Yeyen akhirnya bisa memiliki mesin jahit sendiri. Keamanan produk Dengan dukungan alat, Yeyen lebih leluasa mewujudkan desain-desainnya. Meski demikian, ia membuat batasan. ”Satu desain hanya saya buat tiga buah,” kata Yeyen. Menurut dia, batasan ini membuat dia terus terpacu berkreasi menciptakan desain baru. Atas bantuan Pemerintah Kabupaten Serang dan juga seorang tetangga, kini Yeyen memiliki empat mesin jahit. Sehari-hari, seorang kawannya menjadi rekan kerja. Jika pesanan menumpuk, ia meminta para tetangganya untuk membantu. Karena berbahan dasar limbah penyaring debu bijih besi, Yeyen sering mendapat pertanyaan tentang keamanan produknya. Namun, Yeyen selalu menjawab dengan yakin sembari memperlihatkan kulit tangannya. ”Saya bertahun-tahun mengolah bahan ini, tetapi tak terjadi alergi atau akibat lain. Sebelum diproses lebih lanjut, bahan limbah saya cuci bersih-bersih,” kata Yeyen. Lis Dhaniati Post Date : 24 Agustus 2008 |