|
''Akibat sampah ini, berapa banyak orang yang menjadi sakit? Lalu berapa banyak yang tidak bisa bekerja? Berapa banyak yang merasa tidak nyaman?,'' tanya Wapres Jusuf Kalla dengan nada datar namun, boleh jadi, terasa menyengat. Sengatan Kalla pantas dirasakan Kota Bandung, Kota Bekasi, Kabupaten Tangerang, dan Kota Banjarmasin. Keempat daerah itu Senin malam (12/6) diganjar predikat 'Kota Terkotor' dalam Malam Anugerah Lingkungan Adipura (MALA) 2006 di Jakara. Secara khusus Wapres memberi 'sambutan' untuk mereka. ''Bayangkan, begitu besar biaya kesehatan yang harus ditanggung akibat sampah. Karena itu, upaya tak maksimal (dalam mengatasi sampah) harus didorong, sekaligus ditertawai,'' kata Kalla. Tak satu pun wakil pemerintah kota-kota ini di atas panggung, menerima 'anugerah'. Bandung dan Bekasi diganjar Kota Terkotor kategori kota metropolitan. Sementara Banjarmasin dan Kabupaten Tangerang kategori kota besar. Tiga nama pertama - Bandung, Bekasi, dan Banjarmasin - adalah the new comer alias pendatang baru. Pada anugerah Adipura tahun lalu, Kota Terkotor kategori metropolitan diraih Depok, Tangerang, dan Palembang. Sementara kategori kota besar dipegang Bandar Lampung, Batam, dan Bogor. ''Namun, mereka mau memperbaiki diri, sehingga predikat buruk itu bisa ditanggalkan tahun ini,'' terang Deputi II Menteri Negara LH Bidang Pengendalian Pencemaran Lingkungan, Gempur Adnan. Proses evaluasi Kota Terkotor dilakukan dua kali, yakni pada November-Desember 2005 dan pada Februari-Maret 2006. Lokasi peninjauan dititikberatkan pada fasilitas publik, seperti jalan, pasar, terminal, taman, dan sebagainya. Anugerah Kota Terkotor baru dua kali digelar (2005 dan 2006) sepanjang sejarah Adipura. Fenomena Bandung Di antara para new comer, Kota Bandung yang paling disorot. Nyaris seluruh ilustrasi yang ditampilkan pada layar belakang panggung MALA 2006, memvisualisasikan lautan sampah di Kota Bandung. Dalam kata sambutan, Wapres Jusuf Kalla seolah-olah mengalamatkan kritiknya secara khusus pada Bandung. Sepekan sebelum MALA 2006, Menteri Negara Lingkungan Hidup, Rachmat Witoelar, sempat menyatakan, ''Sulit rasanya bagi kami untuk memberi predikat kota terkotor untuk Bandung.'' tuturnya. Rachmat bisa jadi tak berlebihan. Tak ada yang menduga sebelumnya bahwa Bandung yang pernah berjuluk Parist van Java itu kini menjadi kota paling kotor seantero negeri. Moto 'Berhiber' (Bersih Hijau Berbunga) yang cukup tertanam dalam benak warga Bandung pun kini tinggal sejarah. Berapa kerugian akibat lautan sampah di Bandung? Menurut Gempur Adnan, nominalnya belum ada. Namun, terang dia, berdasarkan pemantauan dan wawancara, terlihat jelas, misalnya, aktivitas di pasar atau berbagai pusat perdagangan menurun drastis di Bandung. ''Itu sudah kerugian (ekonomi). Belum lagi orang yang terganggu akibat bau. Jadi kerugian yang terjadi bersifat materil dan immateril. Tapi jelas mereka (warga) dirugikan,'' terang dia. Koordinator MALA 2006, Muhamad Helmy, menyatakan hitung-hitungan soal angka kerugian materil akan dilakukan. Belajar dari kesalahan Tak lama setelah diganjar predikat Kota Terkotor 2005, Bogor dan Depok bereaksi cepat. Wali Kota Bogor mengerahkan seribu penyapu ke jalan-jalan. Walikota Depok mengontak Kementerian Lingkungan Hidup, bertanya apa kiat membikin kota jadi kinclong. ''Intinya, wali kota mau terjun langsung,'' terang Helmy. Senada dengan Helmy, Gempur Adnan menyatakan bahwa sukses menyulap kota bersih bermuara pada faktor kepemimpinan walikota atau bupati. ''Mereka harus berdiri paling depan,'' kata dia. Ini, tentu saja, dalam rangka menggerakkan masyarakat. Menurut dia, dalam urusan sampah, partisipasi masyarakat adalah syarat penting. Sehingga koordinasi harus dilakukan hingga strata terkecil, seperti RT. Inilah, terang Gempur, yang cukup berhasil dilakukan Bogor atau Depok untuk keluar dari predikat kota terkotor. Bukan cuma Bogor atau Depok, Pakanbaru termasuk yang melancarkan jurus itu. ''Kalau lurah tidak bisa, saya kibarkan bendera hitam,'' tutur Helmy menirukan jalan keras wali kota Pakanbaru dalam menggerakkan aparatnya. Pakanbaru termasuk yang memperoleh predikat kota terbersih tahun ini. Apakah minimnya dana bisa jadi tameng? Menurut Helmy, persoalan sampah lebih terkait dengan manajemen. ''Kalau masih kecil kan mudah dikelola. Karena itu, di tingkat RT/RW, sampah masih ringan dikelola. Sebaliknya, kalau sudah dibiarkan membesar, ya repot,'' kata dia. Namun Gempur melihat urusan sampah terkait persoalan prioritas. Yakni, apakah pemerintah daerah setempat memiliki komitmen untuk mengatasi sampah secara serius, misalnya, dengan mengalokasikan dana besar pada sektor lingkungan. ''Akhirnya itu semua terpulang ke walikota,''. Singkatnya, faktor personal --kepemimpinan wali kota atau bupati-- menjadi faktor penentu dalam penanganan sampah. ''Itu saja kuncinya. Anda tanya saja kota-kota yang berhasil,'' kata Gempur. Kalau itu dilakukan, Bandung, Bekasi, Banjarmasin atau kabupaten Tangerang, bukannya tak mungkin dapat keluar dari predikat memalukan ini, dalam tempo singkat. ( imy ) Post Date : 15 Juni 2006 |