Jakarta, Kompas - Inisiatif lokal dalam menyiasati tantangan pembangunan sanitasi bermunculan di sejumlah tempat di Indonesia. Kemandirian masyarakat mengelola sanitasi ini patut dicontoh dan dikembangkan sebagai bagian dari strategi sanitasi kota atau kabupaten.
Demikian benang merah diskusi media ”Teladan Lokal: Kemandirian yang Membuahkan Hasil”, Senin (20/4) di Pendapa Departemen Pekerjaan Umum, Jakarta. Dalam diskusi itu terungkap bagaimana masyarakat melalui teladan lokal menerjemahkan pentingnya sanitasi dalam kehidupan mereka.
Mereka adalah Chaidir Panjaitan, teladan lokal sanitasi MCK Deli, Medan, Belawan. Berawal dari minimnya sarana MCK di daerahnya, berkat inisiatif lokalnya kini terdapat satu unit MCK untuk 50 keluarga dengan pengelolaan air limbah dan pengelolaan mandiri oleh masyarakat.
Muhammad Irwan (Kabupaten Malang), teladan lokal biogas ternak sapi, memaparkan pengalaman mendampingi masyarakat Desa Argosari, Kaki Gunung Semeru, Malang, untuk mewujudkan desa mandiri energi. Sebelumnya, hampir 80 persen masyarakat mencari kayu di hutan sebagai bahan bakar.
Peternak sapi di desa itu membuang kotoran ternak sembarangan dan mencemari sungai. Melalui pengembangan biogas (gas yang dihasilkan dari proses penguraian bahan-bahan organik oleh mikroorganisme pada kondisi tanpa udara), tingkat pemakaian kayu sebagai bahan bakar menurun dan biaya pengelolaan lingkungan sehat jadi murah.
Agus Hartana (Yogyakarta), teladan lokal dari lembaga swadaya masyarakat Lestari untuk inisiatif pengelolaan sampah berbasis masyarakat. Kelompok itu bekerja sama dengan Environmental Services Program sejak tahun 2008 memfasilitasi 10 kelompok masyarakat di Kota Yogyakarta dalam pengelolaan sampah menjadi produk kreasi berbahan plastik daur ulang.
Mukhsin (Jawa Barat), teladan lokal perwakilan masyarakat Dusun Cijangkar, Desa Kertajaya, Kecamatan Simpenan, Kabupaten Sukabumi, memaparkan desa tempat dia tinggal kerap dilanda malaria, diare, dan penyakit kulit karena buruknya sanitasi. Untuk itu, warga dusun bermusyawarah dan bersama-sama menentukan kebutuhan air untuk 450 orang.
Mereka lalu menentukan sistem air bersih yang paling sesuai dan membangun secara gotong royong dari sumber air hingga keran umum.
Warga kemudian membentuk organisasi kelompok pengelola sistem air bersih dan menetapkan iuran pengguna air Rp 10.000 per keluarga tiap bulan. Mereka juga menyusun pedoman operasi dan pemeliharaan sistem air bersih.
Dimulai dari rumah tangga
Beberapa terobosan dalam pengelolaan sanitasi berbasis masyarakat itu kini telah berhasil menjadi bagian dari strategi sanitasi kota atau kabupaten di Indonesia. Para teladan lokal itu menekankan, kebijakan nasional diperlukan dalam memelihara inisiatif lokal agar tetap tumbuh dan memperluas pengaruh positif di daerah lain.
Menurut Agus Hartana yang juga Direktur Eksekutif Lembaga Studi dan Tata Mandiri (Lestari), pembangunan sanitasi, termasuk pengelolaan sampah, paling baik harus dimulai dari rumah tangga. ”Bagaimana kita mengelola sanitasi dan memperlakukan sampah merupakan bagian dari kebudayaan,” ujarnya menegaskan.
Pendekatan budaya perlu guna mengubah perilaku seperti membuang sampah sembarangan, memilah sampah organik dan non- organik, mengurangi penggunaan produk plastik, membuang kotoran di sungai dan kebun. ”Untuk mempercepat perubahan perilaku perlu ada skema pengelolaan sampah yang memiliki keuntungan secara ekonomi,” katanya. (EVY)
Post Date : 22 April 2009
|