|
Mengolah sampah jadi emas butuh kemauan dan keikhlasan. Apalagi sampah yang dipakai jadi rangkaian bunga kering bukan hanya sampah kering berupa daun, batang, buah, biji, botol, dan kertas, tetapi segala macam sampah, termasuk sisik ikan yang masih berlendir dan berbau busuk. Bagi Wayan Sutiari Mastoer (68), sampah sebusuk apa pun bisa diolah menjadi barang berguna, selama ada kemauan. Membuat bunga kering dengan bahan baku sampah baik organik maupun non-organik sudah digeluti Wayan sejak tahun 1997, dua tahun setelah ia pensiun dari Bank Rakyat Indonesia. Untuk mengisi waktu, di awal menjalani pensiunan Wayan, ia sempat ikut kursus merangkai bunga kering. Ilmu dari kursus singkat tersebut ternyata membuka jalan bagi Wayan untuk mengembangkan usaha bunga kering berbasis sampah. Kegiatan mengolah sampah jadi bunga kering yang awalnya sekadar memenuhi kesenangan sendiri, kemudian menjadi sumber mata pencarian banyak orang. Hati Wayan tergerak memanfaatkan sampah berawal dari kegundahan melihat biji melon, yang berserakan di tong sampah di dapur rumahnya. Saat itu, biji melon dikumpulkan lantas dikeringkan. Setelah kering, perempuan kelahiran Bangli, Bali, ini mulai menuangkan ide dengan membentuknya menjadi sekuntum bunga. Untuk mempercantik bunga tersebut dia mencari bahan lain yang juga sampah, dan kenyataannya hasilnya sungguh memuaskan. Kini, setiap tahun usaha bunga kering tersebut mampu mengolah rata-rata sekitar 10 ton sampah organik dan non-organik menjadi rangkaian bunga kering berharga hingga jutaan rupiah. Berstatus pensiunan justru mendorong ibu dari tiga anak ini memiliki kesenangan yang tak pernah bisa ia raih selama aktif bekerja. "Sewaktu jadi karyawan saya sama sekali tidak memiliki waktu untuk menyenangkan diri. Sepertinya 24 jam sehari tidak cukup untuk bekerja," ujar pemilik galeri bunga kering dan suvenir "Semi Indah" yang beralamat di Jalan Rungkut Asri Utara, Surabaya, itu. Semua produk digarap Wayan bersama 87 perajin ditambah puluhan pemasok bahan baku berupa kelobot jagung, sabuk kelapa, sisik ikan, biji-bijian, tangkai pohon, daun, serta botol, kardus dan kaleng bekas. Bahan-bahan tadi diolah menjadi bunga seperti liontin, giwang, cincin atau bros, dan rangkaian bunga kering. Produk Wayan pun direspons pasar baik di dalam maupun di luar negeri. Pembeli asing dari Argentina dia jumpai ketika ikut pameran di Jakarta. Sudah 100 lebih model rangkaian bunga kering yang dihasilkan, dan model itu terus berkembang karena selalu ada inovasi. Menurut Wayan yang menjabat sebagai Ketua Asosiasi Pengusaha Bunga Kering dan Bunga Buatan Indonesia (Aspringta) Jawa Timur, bahan baku berupa sampah organik dan non-organik kini semakin banyak yang mengantar ke rumahnya. "Sebelumnya, sampah-sampah itu dibuang begitu saja, tetapi kini sudah memiliki nilai ekonomis," ungkap Wayan. Ia pun kini tidak cukup hanya mengandalkan sampah rumah tangga, tetapi juga mendatangkan beberapa jenis biji dari kawasan Gunung Bromo. Sedangkan buah lontar dan siwalan dipasok dari Gresik dan Tuban. Biji kepah hanya ada di Bali dan biji damar dari wilayah Kalimantan. Data lengkap Belakangan Wayan memanfaatkan juga sisik berbagai jenis ikan. Sisik ikan yang masih berlendir dan bau busuk karena masih menyatu dengan bagian dalam ikan itu ia peroleh dari pasar. "Begitu sisik ikan tiba di rumah sebanyak dua goni, dibersihkan, diberi kaporit lalu direbus dan dibilas berkali-kali, selanjutnya diberi pewarna," ujar nenek dari tiga cucu ini yang mengaku usaha tersebut sangat tergantung terik matahari. Dalam mengembangkan usaha, Wayan tidak hanya menjadi pemburu biji-bijian, tetapi juga sering diundang untuk memberikan pelatihan ke berbagai daerah di Nusantara. Beberapa organisasi maupun pemerintah daerah meminta kesediaannya membagi ilmu tentang pemanfaatan sampah jadi uang. Tempat usahanya pun kini tidak hanya sebagai ruang pameran berbagai produk berbahan baku sampah, tetapi menjadi wadah bagi pelajar dan mahasiswa melakukan penelitian. Wayan selalu mencatat secara lengkap data tentang bahan baku yang digunakan, termasuk jenis dan asal daerah. Kegiatan mengembangkan usaha sebagai aktualisasi diri hasil karya Wayan itu, kini mudah ditemukan di hotel, butik, kantor, toko atau rumah di Surabaya, Jakarta, dan Bali. Harga produk paling murah berupa setangkai bunga dari kelobot jagung Rp 15.000 dan paling mahal Rp 1 juta berupa rangkaian bunga kering yang sudah diberi bingkai atau dipasang dalam vas. Di masa pensiun yang sering diartikan sebagai masa istirahat, bagi Wayan justru tidak mengenal kata berhenti untuk berkarya. "Saya mau membagi ilmu mengolah sampah jadi barang berharga, tanpa biaya besar. Lapi pula pekerjaan ini tidak aneh dan mudah untuk ditransfer," ujar Wayan. Ia pun ingin semakin banyak kaum perempuan memiliki kemauan dan keikhlasan untuk mengembangkan usaha mengolah sampah jadi emas. AGNES SWETTA PANDIA Post Date : 05 Mei 2006 |