|
SAMPAI saat ini tampaknya belum ada titik temu antar berbagai pihak tentang bentuk pengelolaan sampah di Kota Bandung. Pemkot Bandung sepertinya memaksakan kehendak agar sampah diolah menjadi listrik, sementara pihak lain menilai pengolahan sampah menjadi kompos dinilai lebih realistis dan murah. Pengelolaan sampah menjadi listrik, walaupun sudah digunakan di luar negeri, tetapi bila akan dilaksanakan di Kota Bandung, nampaknya masih perlu dicermati dengan hati-hati. Di samping perbedaan karakteristik sampah yang akan mempengaruhi efisiensi dan dampak yang ditimbulkan, pengelolaan sampah menjadi listrik juga dikhawatirkan tidak akan meningkatkan kesadaran masyarakat dalam hal mereduksi sampah. Semakin banyak kita memproduksi sampah, berarti semakin banyak kita mengeksploitasi sumber daya alam. Untuk mendapatkan keuntungan yang lebih banyak, maka produksi listrik dari sampah harus ditingkatkan. Meningkatnya produksi listrik, berarti sampah yang dibutuhkan akan meningkat pula. Dengan demikian, upaya meminimisasi sampah tidak akan terjadi, tetapi sebaliknya justru akan berusaha untuk meningkatkan jumlah sampah guna memenuhi kebutuhan bahan baku. Hal yang sama juga dapat terjadi pada pengelolaan sampah menjadi kompos atau pupuk. Bila kompos atau pupuk tersebut laku dijual, maka ada potensi untuk memperbesar produksinya, sehingga sampah yang dibutuhkan juga meningkat. Saat ini sampah masih merupakan barang publik (public good) yang tidak atau belum memiliki nilai, sehingga tidak ada pihak yang mengklaim sebagai pemiliknya. Namun ketika sampah menjadi bahan baku untuk suatu produksi yang menguntungkan seperti sebagai bahan baku pembangkit listrik atau bahan baku kompos, akan ada potensi penguasaan kepemilikan. Akibatnya potensi terjadimnya rebutan kepemilikan sampah dapat terjadi, dan hal ini tentunya akan menimbulkan persoalan baru. Berdasarkan hukum termodinamika, dalam setiap perubahan bentuk materi akan ada energi yang terbuang. Semakin panjang rantai atau aliran perubahan bentuk materi, akan semakin efisien dalam pemanfaatan energi. Hal ini mengandung arti bahwa semakin pendek rantai atau aliran perubahan bentuk materi, maka akan terjadi pemborosan energi. Penggunaan sampah sebagai bahan bakar pembangkit listrik merupakan bentuk pengelolaan yang berupa aliran pendek serta perubahan bentuk materi yang drastis. Pembangkit listrik yang menggunakan bahan bakar batu bara, energi yang berubah menjadi energi listrik hanya sekitar 35-56%, sisanya sebanyak 44-65% energinya tidak termanfaatkan (waste energy). Dengan demikian pembangkit listrik dengan bahan bakar sampah pemborosan energinya akan lebih tinggi karena kandungan kalor sampah kota Bandung jauh lebih rendah daripada kalor batubara. Sebagai konsekuensinya, untuk meningkatkan kalor sampah tersebut dipastikan diperlukan bahan lain yaitu batu bara yang harganya relatif lebih murah daripada bahan bakar lain. Bila hanya diperlukan sekitar 20% batu bara sebagai campuran, dan sampah Kota Bandung yang diolah menjadi listrik sebesar 5.000 ton per hari, diperlukan 1.000 ton batu bara setiap harinya. Penyediaan batu bara, dampak pembakaran serta limbah abu batubara tersebut tentunya juga menjadi persoalan yang perlu dicermati. Sementara itu, menurut Andang Kasriadi dari Gerakan Peduli Sampah (PR 2juli) biaya produksi listrik dari sampah (7 sen/kwh) lebih mahal daripada yang dihasilkan PLN (4 sen/kwh), hal ini menunjukkan bahwa produksi listrik dari sampah sebenarnya tidak efisien, baik dari sisi energi maupun biaya. Pengelolaan melalui multi produk, yaitu adanya material yang di daur ulang (recycle), digunakan kembali (reuse) dan pengomposan menjadi pupuk, efisiensi energinya akan lebih tinggi. Oleh karena itu dalam rangka meningkatkan efisiensi energi, menekan pencemaran udara serta mengurangi ekstraksi sumber daya alam lain, pemanfaatan sampah untuk energi listrik sebaiknya menjadi alternatif terakhir dan berada dibagian paling hilir. Artinya sampah yang dijadikan bahan bakar pembangkit listrik adalah merupakan material sampah sisa yang sudah tidak dapat di daur ulang, digunakan kembali atau tidak dapat dikomposkan. Upaya pengomposan sampah kota dinilai kurang mendukung upaya pemulihan daur materi (hara) lahan pertanian di daerah, dan tidak efisien bila dibandingkan dengan pengomposan di daerah sumbernya. Walaupun kompos yang diproduksi di kota bisa digunakan menjadi pupuk kembali di daerah-daerah pertanian, namun akan diperlukan biaya lebih banyak karena adanya ongkos pengemasan dan transportasi yang lebih mahal daripada komposnya. Untuk menjaga daur materi di lahan pertanian, seharusnya limbah ikutan produksi pertanian yang dihasilkan seharusnya dapat dikomposkan ditempat. Untuk memperkecil timbulnya sampah di masa mendatang, pengelolaannya juga harus menyeluruh dan dimulai dari bagian hulu. Dalam rangka mengurangi sampah organik yang berasal dari tanaman, Dinas Pertanian kota dapat berperan sebagai pengontrol semua produksi pertanian yang masuk kota dengan menetapkan kebijakan bahwa semua produksi sayuran yang masuk ke kota harus sudah relatip bersih. Misalnya kelapa yang masuk ke kota harus tanpa sabut, jagung tanpa kulit, sementara sayuran lainnya harus sudah bersih dan bebas dari bagian yang tidak dapat dikonsumsi. Kemasan besar yang berupa kotak karton dan kayu tempat buah dan sayuran harus diangkut kembali produsennya. Biasakan limbah sisa produksi pertanian dikomposkan kembali di tempat asalnya, hal ini juga penting untuk memperbaiki kembali kesuburan tanahnya dan sekaligus memperkecil ketergantungan terhadap pupuk sintetis. Sementara untuk mengurangi sampah lainnya dapat dilakukan melalui upaya, di antaranya : 1) melarang/membatasi penggunaan kantong plastik, baik di supermarket maupun para pedagang, 2). penggunaan kertas bekas (bolak balik) di kantor-kantor untuk keperluan internalnya, seperti undangan rapat, pengumuman dan draf laporan, 3). Untuk mengurangi boks dan kemasan bekas makanan, biasakan kembali penyajian konsumsi pada pertemuan dan rapat dengan cara parasmanan, dan gunakan tempat makanan dan minuman yang dapat digunakan berulang-ulang. Sedangkan untuk memudahkan penanganan sampah oleh pemerintah, sudah saatnya dilakukan pemilahan sampah mulai dari rumah tinggal, restoran, supermarket sampai perkantoran. Berikan disinsentif bagi yang tidak melakukan pemilahan, misalnya sampahnya tidak diangkut. Masih banyak cara yang mudah dan sederhana yang dapat dilakukan dalam rangka mengurangi timbulnya dan mengelola sampah. Persoalannya adakah kemauan dari semua pihak untuk mulai melakukannya? Oleh ERRI N. MEGANTARA Penulis, peneliti di PPSDAL dan pengajar di Jurusan Biologi Universitas Padjadjaran Bandung. Post Date : 05 Juli 2006 |