Jakarta, Kompas - Kantong plastik kresek berwarna, terutama hitam, kebanyakan merupakan produk daur ulang. Karena itu, konsumen diharapkan berhati-hati dan tidak menggunakan kantong plastik kresek tersebut untuk mewadahi makanan.
”Dalam proses daur ulang tersebut, riwayat penggunaan sebelumnya tidak diketahui, apakah bekas wadah pestisida, limbah rumah sakit, kotoran hewan atau manusia, limbah logam berat, dan lain-lain,” kata Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Husniah Rubiana Thamrin Akib di Jakarta, Selasa (14/7).
Dalam proses daur ulang tersebut, juga ditambahkan berbagai bahan kimia yang menambah dampak bahaya bagi kesehatan. Disarankan agar masyarakat tidak menggunakan kantong plastik kresek warna hitam atau daur ulang tersebut untuk mewadahi langsung makanan siap santap.
Merek dagang
Adapun kemasan styrofoam sebenarnya merupakan merek dagang pabrik Dow Chemicals dari foamed polystyrene atau expandable polystyrene.
Menurut Husniah, residu monomer stiren yang tidak ikut bereaksi pada styrofoam dapat terlepas ke dalam makanan yang berminyak/berlemak atau mengandung alkohol, terlebih dalam keadaan panas.
Sejauh ini tidak ada satu negara di dunia yang melarang menggunakan styrofoam atas dasar pertimbangan kesehatan. Kebijakan pelarangan di sejumlah negara berkaitan dengan masalah pencemaran lingkungan.
Menurut JECFA-FAO/WHO monomer stiren tidak mengakibatkan gangguan kesehatan jika residunya tidak melebihi 5.000 bagian per sejuta.
Meski demikian, masyarakat diimbau agar tidak menggunakan kemasan styrofoam dalam microwave, tidak menggunakan kemasan styrofoam yang rusak atau berubah bentuk untuk mewadahi makanan berminyak/berlemak, apalagi dalam keadaan panas.
Sementara itu, hasil pengawasan BPOM terhadap kemasan makanan yang terbuat dari plastik polivinil klorida (PVC) menunjukkan bahwa monomer vinil klorida (VCM) yang tidak ikut bereaksi dapat terlepas ke dalam makanan, terutama yang berminyak/berlemak atau mengandung alkohol, terlebih dalam keadaan panas.
Dalam pembuatan PVC ditambahkan penstabil, seperti senyawa timbal (Pb), kadmium (Cd), dan timah putih (Sn), untuk mencegah kerusakan PVC. Kadang-kadang agar lentur atau fleksibel ditambahkan senyawa ester flalat dan ester adipat.
”Residu VCM terbukti mengakibatkan kanker hati, senyawa Pb merupakan racun bagi ginjal dan saraf, senyawa Cd merupakan racun bagi ginjal dan dapat mengakibatkan kanker paru. Senyawa ester flalat dapat mengganggu sistem endokrin,” kata Husniah.
Uji laboratorium
BPOM telah melakukan sampling dan pengujian laboratorium terhadap 11 jenis kemasan makanan dan plastik PVC. Hasilnya, satu jenis tidak memenuhi syarat.
Untuk kehati-hatian, masyarakat diimbau untuk memerhatikan hal-hal seperti umumnya kemasan makanan PVC dapat dikenali dari logo bertuliskan 03 di dalam segitiga dan di bawah segitiga ada tulisan PVC.
”Jangan menggunakan kemasan makanan dengan PVC untuk makanan yang berminyak atau berlemak atau mengandung alkohol, terlebih dalam keadaan panas,” kata Husniah.
Direktur Pengawasan Produk dan Bahan Berbahaya BPOM Roland Hutapea menyatakan, ke depan perlu ada pelabelan di kemasan. ”Selama ini sudah ada, tapi khusus label tidak wajib,” katanya.
Bagi masyarakat yang ingin mendapatkan informasi lebih lanjut dapat menghubungi Unit Layanan Pengaduan Konsumen BPOM RI di nomor telepon 021-4263333 dan 021-32199000 atau website http://www.pom.go.id
”Peringatan ini untuk melindungi masyarakat dari dampak buruk kemasan makanan bagi kesehatan,” kata Husniah. (LOK)
Post Date : 15 Juli 2009
|