|
Gempa tektonik dan Tsunami yang melanda Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) dan Sumatera Utara menghancurkan banyak daerah di kedua provinsi tersebut. Akibatnya, kerusakan lingkungan pun terjadi dan memicu munculnya berbagai penyakit menular di antara korban yang masih hidup. Beberapa kalangan mengkhawatirkan, penyakit menular ini sebagai bencana kedua setelah gempuran Tsunami. Penyakit yang muncul antara lain infeksi saluran pernapasan bagian atas (ISPA) hingga akut, diare, muntaber, dan kolera. ''Sebenarnya, kita menetapkan ada lima penyakit yang perlu dipantau dan ditanggulangi dalam bencana di sana. Penyakit-penyakit itu muncul sebagai akibat dari bencana yang terjadi,'' ujar Dirjen Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan lingkungan (PPM-PL) Depkes, Prof DR Umar Fahmi Achmadi ketika dihubungi di Jakarta, kemarin. Selain ISPA, diare, muntaber-kolera, penyakit lainnya yang segera muncul dalam beberapa bulan mendatang adalah malaria dan demam berdarah dengue (DBD). Pada umumnya, kelima penyakit ini terjadi akibat lingkungan dan sanitasi yang buruk. Semua penyakit ini menjadi target intensif pemantauan dalam waktu tiga bulan ini. Dikatakannya, diare terjadi karena air bersih terbatas. Di samping dari makanan yang dikonsumsi, peralatan yang tak dicuci bersih menjadi sumber masalah diare, muntaber, dan kolera. Apalagi, hal ini bisa memperparah bila terjadi stres yang berat dan angin yang kencang sehingga pencernaannya terganggu. Lemahnya kondisi yang diderita, ditambah gizi yang memburuk bisa juga menimbulkan radang pada saluran pernapasan dan paru. Inilah yang membuat kondisi yang buruk sehingga terjadi ISPA. Sementara itu, genangan air laut di daerah dataran membuat genangan-genangan air payau. Dalam beberapa waktu, papar Umar, muncul lumut-lumut yang menjadi sarang perkembangbiakan nyamuk Anopheles, vektor penyakit malaria. Di samping itu, genangan-genangan air bersih akibat hujan yang turun beberapa kali, bisa menjadi tempat yang subur bagi hidupnya nyamuk Aedes aegypti, vektor penyakit DBD. Pihaknya juga menegaskan bahwa bagi masyarakat dibutuhkan persediaan air bersih. Salah satu bantuan datang dari Amerika Serikat dalam bentuk alat pemurnian air. Tak hanya itu, peralatan perbaikan sanitasi dan vaksin beberapa penyakit seperti campak dibutuhkan juga bagi para pengungsi. ''Saya mengimbau ke masyarakat agar menyumbang obat-obatan berupa antibiotik, terutama jenis bagi anak-anak. Cairan infus juga sangat dibutuhkan dalam waktu dekat ini,'' ujar Umar. Ditegaskannya, penyakit itu tak muncul secara langsung dari jenazah korban. Jenazah yang membusuk bisa mencemari air. Sedangkan, air yang tercemar bisa menyebabkan diare, muntaber, dan kolera. ''Jadi, mayat itu tak tularkan penyakit. Karenanya, kita perlu menghormati dalam penanganan mayat itu sesuai kepercayaan masyarakat. Tak perlu dengan pembakaran.'' Dalam mengatasi wabah dan menyebarnya kuman-kuman di lingkungan tersebut, maka Depkes mengirimkan desinfektan sebanyak 16 ton pada hari kedua bencana. Menurut Sekjen Depkes Syafi'i Achmad, desinfektan itu ditujukan untuk membunuh kuman yang berkembang di daerah bencana. ''Kita atasi hal itu dengan pemberian desinfektan agar kumannya langsung mati. Jadi, mayat itu sendiri bukan sumber penyakit, melainkan kuman yang subur di sekitarnya,''ujar Syafi'i dalam jumpa pers, akhir pekan lalu. Umar juga mengatakan, sejak pekan lalu, penyemprotan sudah dilakukan di Banda Aceh, Lhokseumawe, dan beberapa kota yang cukup rusak lingkungannya. Meulaboh pun sudah mulai dilakukan penyemprotan di awal pekan ini. ''Tujuan penyemprotan itu adalah untuk menekan populasi lalat dan nyamuk di tempat pengungsian. Tujuan lainnya adalah membunuh kuman penyakit atau desinfektan di sekitar tempat tersebut dan di bekas-bekas tumpukan mayat,'' sambung Umar. Penyemprotan di beberapa kota ini perlu segera dilakukan mengingat buruknya lingkungan dan masih banyaknya jenazah yang belum dikuburkan. Penyemprotan tersebut dilakukan di darat saja. Sekarang ini, Umar menambahkan, belum memerlukan penyemprotan desinfektan dari udara. ( wed ) Post Date : 04 Januari 2005 |