|
Fatimah menghabiskan makan siang di warungnya dengan lahap. Ia seolah tak peduli dengan tumpukan sampah yang berada sekitar 2 meter di depan warungnya. Padahal, bau sampah sudah tercium dari radius 15 meter. "Kalau bau sampah mah saya sudah terbiasa, tetapi pembeli tidak datang kalau bau begini," ujarnya seusai menghabiskan makan siang, Kamis (25/5). Sudah sejak lama warung Fatimah di Pasar Cihaurgeulis ditinggalkan pelanggan akibat tumpukan sampah yang tak terangkut menyusul ditutupnya Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Cicabe, 14 April lalu. Akhirnya, ibu dua anak ini memutuskan menutup warungnya sejak sebulan lalu dan baru dua hari ini buka kembali. Bukan hanya sepinya pembeli yang mendorong Fatimah menutup warungnya, tetapi warga Kelurahan Sukapada, Kecamatan Cibeunying Kidul, Kota Bandung, juga sering mengeluh mual dan pusing. "Dulu baunya luar biasa. Belum lagi lalat dan belatung. Sekarang mah sudah berkurang karena sebagian sampah sudah diangkut," kata Fatimah. Meski demikian, bau sampah masih cukup mengganggu. Bahkan, Fatimah belum berani membawa serta anak bungsunya, Angga (3), saat berjualan. Setiap dibawa ke warung, Angga selalu pilek dan demam. Selain itu, Fatimah mengaku terpaksa membuka kembali warungnya karena persediaan uang untuk kebutuhan sehari-hari sudah menipis. Dia sadar betul warungnya tidak seramai dulu sebelum ada tumpukan sampah. Sebelum terjadi krisis sampah di Kota Bandung, Fatimah menghabiskan 15 kilogram beras dan 3,5 kilogram daging sapi setiap hari. Kini yang terjual hanya sepertiganya. Nasib Fatimah tak jauh berbeda dengan Jasmin (20) yang membuka usaha fotokopi tepat di samping Tempat Pembuangan Sampah (TPS) Tamansari. Sejak sebulan lalu usaha Jasmin lesu. "Siapa juga yang mau ke sini kalau air sampah membanjiri halaman toko. Belum lagi bau, belatung, dan lalat yang tak ada habisnya," kata pemilik Toko Lesty yang biasanya berpenghasilan Rp 700.000 tetapi kini hanya Rp 50.000 per hari itu. Meski Jasmin dan pemilik toko lainnya rela merogoh uang Rp 300.000 untuk menguruk halaman toko, hal itu belum membuahkan hasil. Pengguna jasa tetap sepi. Bahkan, dua usaha fotokopi lainnya memilih tutup sejak dua minggu lalu. Yudi Panca Wahyudi (32), warga Lebak Siliwangi, Kecamatan Coblong, mengatakan, ia dan warga lainnya tidak dapat berbuat banyak menghadapi tumpukan sampah. Beberapa kali ia mengeluh kepada lurah, tetapi lurah juga tak dapat berbuat apa-apa. Keluhan serupa juga disampaikan Piah Ropiah (45), tetangga Yudi. Dia khawatir kesehatan warga sekitar TPS terancam. Sebab, saat turun hujan, air sumur di rumah Piah mengeluarkan aroma tak sedap. Ini diduga akibat rembesan air dari TPA Tamansari yang berjarak hanya 12 meter dari rumah Piah. Atik, penjaga Toko Emas ABC, malah harus istirahat total selama seminggu. Gadis berusia 22 tahun itu merasa pusing, mual, sesak napas, dan diare akibat tumpukan sampah yang persis berada di depan tokonya di Jalan Kiara Condong yang tak terangkut sejak satu setengah bulan lalu. Pemerintah Kota Bandung kesulitan membuang sampah karena belum mendapatkan lahan TPA baru. Upaya pembuangan sampah ditolak warga. Mereka sering kecewa dan tak percaya lagi kepada pemerintah. Saat ini diperkirakan ada 307.523,78 meter kubik sampah yang merupakan akumulasi sejak 15 April lalu. Produksi sampah di Kota Bandung mencapai 7.500,58 meter kubik per hari. Masalah sampah di Kota Bandung telah menjadi masalah serius sehingga Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Jusuf Kalla secara khusus meminta kepada Gubernur Jawa Barat Danny Setiawan untuk mengambil alih persoalan tersebut. Dalam pertemuan terakhir, Rabu (24/5) malam antara Gubernur dan Muspida Jawa Barat, disepakati sampah akan dibuang ke tiga lokasi dengan pengawalan tentara dan polisi. Sosiolog dari Universitas Padjadjaran Budi Rajab mengatakan, sampah yang menggunung telah merusak estetika kota dan membuat warga tak nyaman. Mohammad Hilmi Faiq Post Date : 26 Mei 2006 |