Warisan Batavia untuk Jakarta

Sumber:Kompas - 11 November 2007
Kategori:Banjir di Jakarta
Kees Grijns dan Peter JM Nas melukiskan Jakarta ibarat kota yang sedang bergegas. Sejak dibangun oleh JP Coen sebagai sebuah kota bernama Batavia pada 1619, begitu banyak perubahan luar biasa yang terjadi. Lebih-lebih menjelang akhir abad ke-20. Ditandai pembangunan berbagai infrastruktur perkotaan dan gedung-gedung menjulang, Jakarta pun tumbuh bagai gurita.

truktur fisik Batavia yang dirancang berdasarkan peta Simon Stevin sebagai jiplakan kampung halaman mereka di Belanda kala itu kini atmosfernya sudah berubah total. Jakarta sudah kian melebar dan serakah. Jika dulu atmosfer pedesaan dalam struktur penggunaan lahan masih menjadi ciri khas Batavia, Jakarta masa kini adalah hutan beton yang hanya sedikit menyisakan ruang-ruang hijau terbuka.

Akan tetapi, menyangkut infrastruktur yang terkait penanganan tata air perkotaan, Jakarta sesungguhnya seperti jalan di tempat. Infrastruktur pengendalian banjir yang ada saat ini, misalnya, sebagian besar adalah warisan dari masa lampau. Saluran air yang digagas oleh ahli tata air Herman van Breen untuk melindungi kawasan kota dari banjir, yang kini dikenal dengan sebutan Banjir Kanal Barat (1919-1920), adalah salah satunya. Karya Van Breen itu hingga kini pun masih tetap dijadikan tumpuan harapan dalam penanganan banjir di Ibu Kota meski sasarannya ketika itu jelas bukan untuk Jakarta yang sudah begitu sarat beban seperti sekarang.

Bagaimanapun, meminjam ungkapan Grijns (1924-1999) dan JM Nas dari Universitas Leiden, Belanda, seluruh tahap perkembangan yang dilalui oleh sebuah kota tetap meninggalkan jejak pada struktur morfologisnya. Tak terkecuali Jakarta.

Ketika pertama dibangun, Jakarta yang kala itu masih bernama Batavia memiliki sebuah sistem kanal segi empat, menyerupai tata letak Amsterdam di Belanda saat itu. Namun, sistem ini ternyata tidak sepenuhnya membawa manfaat. Dalam beberapa hal, ia justru menimbulkan persoalan baru. Selain kapasitasnya yang terbatas menyebabkan keberadaan sistem kanal ini gagal menjadi sarana pengendali banjir, kondisi kanal yang tak higienis juga berakibat munculnya berbagai sumber penyakit.

Sejarah yang berulang

Sungguh ironis! Berbagai infrastruktur yang diwariskan oleh pemerintah kolonial tersebut bukan saja terbukti tidak mampu menangkal banjir Jakarta masa kini, pada saat itu pun sebetulnya keberadaan berbagai infrastruktur berupa kanal-kanal tersebut tidak mampu menghalangi ancaman banjir di Batavia.

"Sistem kanal dalam fungsinya sebagai infrastruktur pengendali banjir di Jakarta, dari dulu hingga sekarang, adalah salah satu contoh sistem penataan kota yang gagal," kata Restu Gunawan, kandidat doktor sejarah pada program Pascasarjana Universitas Indonesia, yang kini tengah mempersiapkan disertasi tentang seputar sejarah banjir di Jakarta.

Hanya berselang dua tahun setelah Batavia dibangun, lengkap dengan sistem kanalnya, tahun 1621 adalah catatan pertama dalam sejarah Hindia Belanda, di mana pos pertahanan utama VOC di Asia Timur itu dilanda banjir besar. Di luar banjir-banjir kecil yang hampir tiap tahun terjadi di daerah pinggiran kota, tahun 1654, 1872, 1909, dan 1918 (ketika wilayah Jakarta sudah semakin melebar hingga ke Glodok, Pejambon, Kali Besar, Gunung Sari, dan Kampung Tambora) banjir besar kembali datang menerjang Jakarta.

Banjir yang melanda Jakarta pada Februari 1918 tercatat paling besar dalam sejarah banjir di pusat pemerintahan Hindia Belanda ini. Koran Sin Po edisi 19 Februari 1918 mencatat, hampir seluruh Jakarta digenangi air.

Di kawasan seperti Tanah Tinggi, Pinangsia, Glodok, Straat Belandongan, Tambora, Grogol, Petaksinkian, Kali Besar Oost, rata-rata ketinggian air hingga sedada orang dewasa. Begitu pun di Angke, Pekojan, Kebun Jeruk, Kapuran, Kampung Jacatra atau Kampung Pecah Kulir di samping Kali Gunung Sari, serta Pejambon, air juga merendam rumah- rumah penduduk "boemipoetera". Pasar Baru, Gereja Katedral, dan daerah sebelah barat Molenvliet (sekitar Monas sekarang) dijadikan tempat pengungsian.

Tahun-tahun setelah itu, bahkan setelah pemerintah Hindia Belanda selesai membangun saluran air yang di kemudian hari dikenal dengan sebutan Banjir Kanal Barat, dari kliping-kliping koran atau majalah pada masa itu terlihat bahwa hampir tiap tahun Jakarta kebanjiran. Satu situasi yang sebelumnya diakui Van Breen bahwa kehadiran fasilitas pengendali banjir tersebut memang tidak sepenuhnya menjamin Jakarta terbebas dari banjir.

Apabila hanya mengandalkan Banjir Kanal Barat dan pintu air Manggarai, yang terjadi adalah pengalihan wilayah banjir. Jika sebelumnya banjir melanda kawasan Weltevreden dan Menteng, dengan adanya kanal dan pintu air tadi, air lalu mengalir ke tempat yang lebih rendah sehingga banjir pun berpindah ke daerah Manggarai dan Jatinegara.

Kekhawatiran itu memang akhirnya jadi kenyataan. Tahun 1923, misalnya, Bintang Hindia (De Maleisce Revue) edisi 17 Februari, Th II, No 7, melukiskan suasana banjir di Betawi pada musim hujan kala itu. Adapun banjir pada tahun 1932 direkam oleh Pandji Poestaka edisi Januari, lewat dua laporan mereka bertajuk "Moesim Bandjir" serta "Moesim Hudjan dan Bandjir".

Van Breen tidak bohong. Sebab, keberadaan Banjir Kanal Barat yang ada sekarang dan pintu air utama di Maggarai hanya "bagian kecil" dari keseluruhan sistem yang ia rancang. Kanal yang ada itu idealnya diteruskan lagi ke arah barat kemudian membujur ke utara sehingga benar-benar bisa melindungi Batavia dari ancaman banjir dari selatan

"Selain itu, Van Breen juga merancang adanya terusan di lingkar luar Banjir Kanal Barat, yang sekarang mungkin melingkari hingga kawasan Pasar Minggu. Tetapi, gagasan ini tidak jalan. Adapun pemikiran Van Breen terkait pembuatan terusan di timur baru digaungkan kembali tahun 1970-an dan sekarang baru akan direalisasikan," ujar Restu Gunawan.

Banyak orang lupa bahwa sistem kanal hanya sebagian dari gagasan Van Breen. Ia juga menyodorkan pemikiran perlunya sistem polder. Kawasan rawa di sepanjang pantai utara Jakarta mesti dikelilingi tanggul, kemudian airnya dipompa ke luar melalui parit-parit sampai kering. Ini pun tidak terwujud.

Terlepas dari itu semua, dilihat dari perspektif sejarah, tampaknya banjir sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari Jakarta. Ketika ia masih bernama Batavia, ketika jumlah penduduknya masih dalam hitungan ratusan ribu jiwa, dan ketika ruang-ruang terbuka masih terhampar luassementara di kawasan puncak kondisi lahan relatif belum separah sekarangtoh, banjir juga menjadi peristiwa rutin. Ketika kita gagal menjaga warisan budaya masa lampau berupa bangunan-bangunan bersejarah, di belahan lain ternyata kota ini justru dipaksa mewarisi sisi kelam Batavia yang hitam: banjir!

Boleh jadi, sudah saatnya warga Jakarta mengubah paradigma berpikirnya bahwa mereka kini sudah tinggal di "bawah air". Dengan begitu, tentunya juga menuntut perubahan perilaku dalam memperlakukan alam dan lingkungan sekitarnya. (aik/ken)



Post Date : 11 November 2007