Warga Tolak Bayar Retribusi Sampah

Sumber:Pikiran Rakyat - 24 Maret 2005
Kategori:Sampah Luar Jakarta
BANDUNG, (PR).-Sejumlah warga di Kota Bandung mengancam tidak membayar retribusi sampah apabila Pemkot Bandung tidak segera mengangkut tumpukan sampah di banyak tempat penampungan sementara (TPS) sampah di Kota Bandung.

Menurut mereka, pemkot harus bertanggung jawab dengan memberi pelayanan maksimal karena warga sudah membayar retribusi sampah, baik saat membayar listrik serta lewat lingkungan RT/RW tempatnya tinggal. "Kalau begini terus (sampah tidak segera diangkut), saya tidak akan membayar retribusi sampah. Kan sudah menjadi kewajiban pemkot karena warga sudah membayar retribusi," ujar Yayat (29), warga Ujungberung.

Ancaman senada juga dilontarkan Dudi (34), penduduk kawasan Pasar Andir, Kec. Andir. Menurut dia, lingkungan tempat tinggalnya nyaris tidak pernah bersih dari sampah. Tumpukan sampah, baik sampah dari pasar maupun sampah rumah tangga menumpuk di TPS, bahkan di pinggir jalan hingga menebarkan bau busuk.

"Kecuali kumuh, bau busuk juga menyebar ke mana-mana. Padahal kita sudah membayar retribusi setiap bulan. Kalau seperti ini terus, buat apa kita bayar retribusi," tandas dia.

Munculnya ancaman dari warga ini ditanggapi tenang oleh Dirut Perusahaan Daerah (PD) Kebersihan Kota Bandung, Awan Gumelar. "Itu tergantung hati nurani masing-masing warga. Kami tahu sebagian warga sudah membayar retribusi. Namun demikian, kami juga tengah mencari solusi untuk membuang sampah Kota Bandung. Siapa sih yang menginginkan ada kejadian (longsornya TPA Leuwigajah) itu?" ujarnya bernada tanya.

Sambil pemkot terus mencari solusi, Awan minta warga Bandung untuk berpartisipasi meminimalkan produksi sampah, terutama sampah rumah tangga. Misalnya sebuah keluarga dalam sehari memproduksi sampah 12 liter, maka ditekan (dikurangi) dengan tidak menggunakan produk yang berpotensi menghasilkan sampah.

"Tolong masyarakat juga ikut membantu dengan cara mengurangi produksi sampah. Jangan punya pikiran karena sudah membayar retribusi, lantas masa bodoh. Sebab, persoalan sampah ini bukan hanya tanggung jawab pemkot namun juga masyarakat. Apalagi, kita juga akan menjadi tuan rumah peringatan Konferensi Asia Afrika 24 April mendatang," katanya.

Produksi sampah di Kota Bandung setiap hari mencapai 7.500 m3. Dari jumlah itu, rata-rata yang terangkut pascalongsornya TPA Leuwigajah 150 rit/hari (1.500 m3) ke TPA Jelekong. Masih minimnya sampah yang terangkut tersebut, menyebabkan sekira 6.000 m3/hari menumpuk di TPS-TPS ataupun stasiun-stasiun transfer.

Sementara itu, beberapa ormas/LSM yang tergabung dalam Gerakan Membangun Komitmen Jawa Barat (Jabar Komit) menuntut Pemkot Bandung segera menuntaskan permasalahan sampah, membentuk tim pengawasan pengelolaan sampah dengan melibatkan masyarakat serta swastanisasi pengelolaan sampah secara profesional lewat program pengelolaan sampah yang ramah lingkungan.

"Kacaunya pengelolaan sampah di Kota Bandung menunjukkan buruknya kinerja pemkot. Padahal selama ini masyarakat taat membayar iuran sampah. Berdasar hal itu, sudah selayaknya instansi yang mengurusi sampah direstrukturisasi," ujar mereka lewat pernyataan sikapnya, Rabu kemarin.

Pernyataan sikap Jabar Komit tersebut, ditandatangani Ketua Barisan Oposisi Rakyat (BOR) Deni Kusdinar, Ketua Gerakan Pemuda Peduli Lingkungan (GPPL) Barnadi Al Bar, Ketua Forum Alumni dan Mahasiswa IAIN Sunan Gunung Jati (FAMI) Mulyadi, Jaringan Mahasiswa Kabupaten Bandung (JMKB) Darwin Sidiq, Jaringan Mahasiswa dan Pemuda (Jampa) Bandung Raya Hermawan, Ketua Lembaga Pengembangan dan Pemberdayaan Ekonomi Kerakyatan (LPPEK) Yosef Bachtiar serta Koordinator Jabar Komit Lembaga Studi dan Informasi Rakyat (LeSIR) Aam Abdussalam.

Sementara itu, sembilan ahli waris keluarga korban bencana longsor TPA Leuwigajah, dari 30 korban hilang dan meninggal, mengadukan nasibnya ke DPRD Kota Bandung, kemarin. Mereka menuntut kejelasan nasib dan memberi batas waktu satu bulan kepada pemerintah sebelum melakukan gugatan secara hukum. Mereka diterima oleh jajaran Komisi C.

Melalui kuasa hukumnya dari Perkumpulan Bela Hukum Nusantara (PBHN), para ahli waris korban juga mempertanyakan mengapa dana bantuan yang jumlahnya mencapai miliaran rupiah tidak sampai ke tangan mereka. Oleh karena itu, mereka berharap DPRD dapat mendesak pemerintah supaya lebih transparan.

Salah seorang korban longsor, Akum, warga Kampung Pojok RT 04 RW 10 Kel.Leuwigajah mengaku baru menerima Rp. 500.000,- sebagai bantuan pemakaman dan tahlilan. Dana itu pun baru bisa diambilnya sepekan setelah anggota keluarganya yang meninggal dimakamkan. Lelaki setengah baya yang kehilangan anak (Usep), menantu (Imas) dan kedua cucunya (Helmawati dan Ayu Amalia) itu berharap pemerintah segera memberi kejelasan atas nasib mereka yang sudah terkatung-katung selama satu bulan sejak kejadian.

Salah seorang kuasa hukum korban, Effendi Saman S.H., mengatakan bahwa selama ada kejelasan atas nasib mereka, maka kesembilan kliennya belum terpikir untuk mengadukan bencana itu sebagai tindak pidana. "Kita tidak akan melakukan upaya hukum, menggugat, sepanjang ada proses upaya kejelasan. Tapi kalau satu bulan ini tidak ada kejelasan, maka kita akan melakukan upaya hukum," ujarnya.(A-100/A-131)***



Post Date : 24 Maret 2005