LIMBOTO, KOMPAS - Penurunan daya dukung hutan dan daerah aliran sungai menyebabkan warga di tepian Danau Limboto, Provinsi Gorontalo, dan sejumlah wilayah di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, terancam banjir rutin.
Menurut pantauan, Selasa (22/3), sekitar 450 rumah warga di tepian Danau Limboto, Desa Tabumelo, Kecamatan Tilango, Kabupaten Gorontalo, Provinsi Gorontalo, tergenang air danau sejak Mei 2010. Ketinggian air rata-rata 30-50 sentimeter. Namun, jika hujan lebat, genangan air bisa mencapai 1-1,5 meter. Kondisi tersebut disebabkan meningkatnya endapan di Danau Limboto.
Di beberapa lokasi di Desa Tabumelo, genangan air setinggi paha orang dewasa. Warga menggunakan perahu kecil dari kayu sebagai sarana transportasi antar-rumah atau menuju jalan utama desa.
Jika hujan lebat dan genangan meninggi, warga menaruh barang perkakas rumah di atas meja-meja kayu yang sudah dipersiapkan, seperti yang dilakukan Yamin Kadir (56), warga setempat. Barang-barang yang biasanya diletakkan di meja kayu adalah kursi sofa atau peralatan elektronik. Sepeda motor pun terpaksa digantung pada tiang kayu rumah dengan tali.
”Kami memilih bertahan di sini, sebab tidak ada pilihan lain untuk tinggal di luar desa.” kata Yamin.
Warga lainnya, Amna Ismail (37), menambahkan, sejak tahun 2000 kerap terjadi luapan air danau jika hujan lebat berlangsung. Namun, setahun terakhir, situasi itu makin parah.
Kepala Desa Tabumelo Keramat Ja’far mengatakan, pihaknya mengusulkan rencana pembangunan tanggul di sekeliling desa untuk menangkal luapan air. Usulan itu segera disampaikan ke Pemerintah Provinsi Gorontalo.
Kepala Bidang Lingkungan Hidup pada Balai Lingkungan Hidup, Riset, dan Teknologi Informasi Provinsi Gorontalo, Rugaya Biki, mengatakan, kedalaman Danau Limboto berkurang drastis selama 80 tahun terakhir. Pada tahun 1932, kedalaman Danau Limboto mencapai 14 meter, kini tinggal 2,5-3 meter. Penyebab terbesar pendangkalan adalah endapan lumpur yang masuk ke dalam danau.
”Lumpur itu berasal dari 23 aliran sungai yang bermuara ke danau. Pasalnya, sebanyak 20 aliran sungai sudah mati, dan tanah di dasar sungai tersebut tergerus menuju dasar danau saat hujan, ” katanya.
Aktivis lingkungan, Verrianto Madjowa, mengungkapkan, salah satu cara untuk memulihkan Danau Limboto adalah dengan penanaman pepohonan kembali di wilayah hulu. Pembersihan eceng gondok di permukaan danau harus digiatkan.
Sementara, daya dukung hutan di Aceh untuk menyimpan air juga terus menurun. Akibatnya, banjir mudah terjadi walaupun curah hujan normal, seperti yang melanda Kecamatan Tangse, Kabupaten Pidie, dua pekan lalu.
Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Aceh mencatat, dalam 2,5 bulan terakhir terjadi 20 kali banjir di wilayah Aceh. Padahal, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Aceh mencatat curah hujan setempat rata-rata normal.
Kepala Seksi Observasi dan Informasi BMKG Aceh, Alfianto, mengungkapkan, dalam 2 bulan terakhir, rata-rata curah hujan di Aceh antara 100-300 milimeter per bulan. Intensitas tersebut tergolong normal. (APO/HAN)
Post Date : 23 Maret 2011
|