Warga Ternyata Bisa Mengelola Sendiri

Sumber:Kompas - 12 September 2006
Kategori:Sampah Jakarta
Jakarta harus bisa menyelesaikan soal sampahnya sendiri. Pernyataan itu sudah sering dilontarkan. Dan, nyatanya, warga di sejumlah rukun tetangga bisa mengelola sampahnya sendiri.

Kebiasaan menaruh sampah sesuai dengan jenisnya, yakni sampah basah dan sampah kering, di dua bekas kaleng cat ukuran sedang berwarna berbeda memang baru sekitar lima bulan ini dikenal Lala. Bocah perempuan ini pun hafal jika hendak membuang plastik, dia harus membuka tutup kaleng bercat oranye, sedangkan untuk daun ke kaleng bercat biru.

Pemilik warung yang biasa dipanggil Mama Nia (28), warga Kampung Bulak RT 03 RW 15, Klender, Jakarta Timur, dengan tekun mengajak para pembelinya, termasuk anak-anak, untuk membuang sampah sesuai dengan jenisnya. Ajakan tersebut awalnya sebagai bagian dari persiapan warga untuk ikut lomba kebersihan dan penghijauan yang digelar sebuah perusahaan swasta.

Pendekatan pun gencar dilakukan Nia bersama beberapa ibu lainnya untuk mengubah kebiasaan warga dalam membuang sampah. Acara arisan bulanan RT jadi ajang untuk mengenalkan pemilahan sampah dan pembuatan kompos secara sederhana sejak di rumah.

Ketika dana stimulan mengucur saat RT ini masuk nominasi, dua kaleng berwarna berbeda disebarkan ke 43 rumah. Ada yang semangat untuk mengubah kebiasaan membuang sampah, ada juga yang tidak peduli.

"Dulu warga sini menaruh saja semua jenis sampah dalam karung atau plastik, lalu ditaruh di depan rumah. Pokoknya, semua diserahkan ke tukang gerobak yang mengangkut sampah setiap hari, tetapi sekarang mulai berbeda," ujar Nia.

Pak Kanta, petugas pengangkut sampah, juga diajak untuk hanya menuangkan sampah ke gerobaknya dari kaleng oranye. Sampah di kaleng biru ditaruh di plastik terpisah, lalu diantar ke saung pengomposan di halaman rumah seorang warga.

Volume sampah yang dibuang ke Tempat Pembuangan Sementara Kebon Singkong akhirnya berkurang. Sampah basah berupa bekas sayur, buah, daun, dan sejenisnya tak lagi dibuang begitu saja. Sampah basah itu diolah menjadi kompos yang oleh warga kemudian digunakan untuk menyuburkan tanaman hias dan tanaman obat keluarga yang sekarang memenuhi gang-gang di perkampungan itu.

Adapun sampah berupa botol, gelas bekas minuman, plastik, kertas, dan sejenisnya diambil Pak Kanta untuk dijual.

Kebiasaan untuk menyelesaikan persoalan sampah sejak dari sumbernya itu juga dilakukan warga RT 01 RW 03 Mampang Prapatan, Jakarta Selatan. Di depan rumah warga tersedia dua kaleng cat, kaleng warna hijau untuk sampah basah dan kaleng kuning untuk sampah kering.

Warga juga belajar memanfaatkan bekas sampah untuk beragam kerajinan tangan. Hasilnya, sampah tidak lagi dianggap barang tidak berguna.

Selain itu, tujuh komposter dari tong plastik ukuran sedang yang diberi lubang di bagian bawah dan sisi tengah disebar di tujuh titik. Para ibu yang memasak biasa merajang tangkai atau daun sayuran yang tidak terpakai lalu membuangnya ke komposter itu. Sekitar tiga bulan kemudian, sampah yang dibiarkan begitu saja itu berubah menjadi kompos.

Kebiasaan ini menyebabkan aktivitas pengangkutan sampah berkurang. Dulu sampah harus diangkut setiap hari, sekarang cukup dua hari sekali.

Perlu penggerak

Pengelolaan sampah sejak dari sumbernya menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari pengelolaan sampah sebuah wilayah. Prinsipnya, sampah diupayakan seminim mungkin. Kalau bisa, malah semua sampah dimanfaatkan alias zero waste.

Cara yang efektif adalah dengan menerapkan konsep 3R (reduce, reuse, recycle). Sekarang, 3R itu masih ditambah lagi dengan composting. Untuk itu, masyarakat perlu digerakkan agar berpartisipasi aktif. Persoalan sampah jangan semata diletakkan kepada dinas kebersihan.

Dwi Haryanto, Lurah Ancol, mengatakan, adanya pengolahan sampah di wilayah ini menyebabkan sisa sampah yang dibuang ke Tempat Pembuangan Akhir Bantar Gebang setiap hari hanya sekitar delapan meter kubik dari 80 meter kubik yang dihasilkan warga.

Ajakan gencar untuk membudayakan pemilahan dan pengolahan sampah jangan lagi dipandang sebelah mata. Sebab, dalam penerapan teknologi pengolahan sampah tingkat tinggi sekalipun, baru akan efektif jika sampah sudah terpilah.

Meski upaya pengolahan sampah secara mandiri mulai bermunculan di wilayah Jakarta sejak tingkat RT, upaya menggerakkan warga perlu semakin gencar dilakukan. Jangan sampai sampah yang mulai terpilah di tingkat RT itu mubazir. Pasalnya, sampah kembali tercampur di tempat pembuangan sementara hingga terbawa ke tempat pembuangan akhir.

Nia di Klender menyebut contoh nyata dan keberadaan orang yang secara terus-menerus memberi penyadaran kepada warga akan sangat menarik warga untuk mau berpartisipasi.

Karena itu, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mestinya tidak hanya sibuk mencari lokasi pembuangan sampah di tempat lain. Kesadaran masyarakat yang mulai tumbuh di sana-sini untuk mengelola sampahnya di tingkat lingkungan juga harus didorong. Sebab, kalau semua RT atau RW di Jakarta bisa mengelola sampahnya sendiri, niscaya sampah yang harus dimusnahkan di tempat pembuangan akhir bisa sangat merosot. Penampungan yang sangat besar seperti Bantar Gebang tak lagi diperlukan.... Ester l napitupulu

Post Date : 12 September 2006