"Penemuan terbesar sepanjang masa adalah seseorang yang dapat mengubah masa depannya dengan mengubah sikapnya" (Oprah Winfrey)
Petuah bijak itulah yang sedang coba diwujudkan oleh Dewi Yuli M (37), Ketua RW 5, Kel. Maleber, Kec. Andir, Kota Bandung. Setiap kali pergi ke luar kota atau pulang kampung ke Yogyakarta, ia melihat perkampungan pun bisa bersih, rapi, dan tertata. "Saya pikir kita juga harus mulai menata," katanya saat ditemui di Kantor RW 5.
Ia menyadari perubahan lingkungannya tidak bisa menunggu program-program pemerintah karena menunggu berarti membuang waktu. Padahal, ada banyak yang bisa dilakukan. "Saya ingin RW ini kembali seperti dulu yang pernah jadi juara penghijauan," katanya.
Bertahun-tahun silam, RW 5 pernah menyabet gelar juara penghijauan di Kota Bandung. Namun, rupanya gelar itu tidak membekas sebagai sebuah pola hidup yang bisa dipertahankan warganya. Dengan demikian, kondisi lingkungannya kembali menurun. "Tetapi saya yakin warga bisa dimotivasi kembali, makanya saya memberanikan diri mengikuti perlombaan di Bandung Green and Clean," katanya.
Rencana yang sudah disusun ialah membuat masyarakat aktif memilah sampah. Sampah rongsokan bisa dikumpulkan lalu dijual, hasilnya bisa menjadi modal berbagai kegiatan lingkungan lainnya. Sampah organik dimanfaatkan untuk kompos dan yang anorganik bisa dimanfaatkan untuk berbagai kerajinan.
Namun tidak mudah mewujudkan rencana itu. Sebab, bagi sebagian besar warga, gaya hidup seperti itu belum cukup populer, tetapi juga tidak berarti tidak bisa. Dari 5 RT, sudah ada 1 RT yang sudah aktif memilah sampah. Bahkan, hingga membuat kompos untuk tanaman di lingkungannya sendiri.
"Di setiap kesempatan, pertemuan RT, RW, PKK, pengajian, karang taruna, atau apa pun mulai kita sampaikan soal ini. Soal pemilahan sampah. Di obrolan-obrolan santai dengan ibu-ibu juga kita bicarakan. Mereka sebenarnya mengerti. Tinggal kemauan untuk memulai," kata Dewi.
Tidak semua warga menyambut positif, tetapi tidak sedikit yang mulai bergerak. Kesibukan sering menjadi kendala bagi warga mengurusi sampahnya. Namun toh sidak ada yang sia-sia. Sekarang produksi sampahnya mulai berkurang, bahkan hingga separuhnya. Jika sebelumnya petugas sampah harus bolak-balik dua kali untuk mengangkut sampah, kini cukup sekali saja. Setidaknya, beban kerja petugas sampah bisa lebih ringan.
"Hanya untuk rongsokan kami belum punya tempat. Kita kan tidak mungkin menjual sedikit-sedikit, butuh tempat untuk mengumpulkan. Rencananya saya mau minta izin menggunakan bangunan yang dulu dipakai Kantor Pajak. Sekarang kan sudah tidak dipakai lagi. Untuk sementara bisa dititipkan di RT yang sudah aktif memilah sampah," katanya.
Dewi tak hanya berharap gerakan lingkungan ini sekadar membersihkan lingkungan. Lebih dari itu, gerakan ini bisa menjadi program pemberdayaan bagi warga setempat. "Di sini banyak pemuda-pemuda yang tidak bekerja. Saya khawatir kalau terus-terusan menganggur akan berdampak buruk. Saya ingin kegiatan lingkungan ini bisa memberdayakan sumber daya mereka," tuturnya.
Mengubah keadaan tentu tidak cukup dengan tangan satu orang. Maka yang diperlukan adalah proses penyadaran yang mampu menjadi tenaga penggerak. "Saat ini yang terpenting membuat warga mengerti dan sadar dulu. Kalau itu sudah tercapai, saya yakin semua bisa terwujud," katanya. (Catur Ratna Wulandari/"PR")
Post Date : 12 Juli 2010
|