|
Satu setengah bulan pascaselesainya kontrak pengangkutan sampah antara Pemerintah Kota Medan dengan pihak PT Mitra Unggul Lestari, masalah penumpukan sampah belum juga bisa diatasi. Masalah baru justru muncul. Selain warga membiarkan sampah menumpuk di pinggir jalan dan di pasar menunggu pengangkutan, banyak warga yang kemudian memilih membuang sampah rumah tangganya ke sungai atau parit kecil. "Macam mana kami buang sampah, sampah tidak diangkut. Tidak tersedia tempat sampah juga," tutur Farida (60) warga yang tinggal di Sei Tuntung, Medan, Minggu (17/2). Farida dan para tetangganya kemudian memilih membuang sampah di Sei Putih, salah satu sungai kecil yang membelah Kota Medan. Sei Putih memang sudah lama dipenuhi sampah. Namun penumpukan semakin menjadi pascaterhambatnya pengangkutan sampah warga, karena Pemko Medan kekurangan 35 mobil pengangkut sampah. Dulu, kata Farida, tempat sampah pernah dibuat di depan warungnya di pinggir Sei Putih. Namun ia dan warga yang tinggal dekat tempat sampah protes. Bau busuk dan lalat menyebar ke mana-mana. "Warga lain membuang sampah sembarangan, mosok bangkai juga dibuang di situ," katanya. Daripada menciptakan pusat bau baru, akhirnya warga beramai-ramai membuang sampah ke sungai. Dulu, kata Farida lagi, sekitar tahun 1955, sungai masih jernih. Kami suka mandi di Sungai. "Sekarang macam mana, anak lihat sendiri bagaimana?" kata Farida. Air sungai selain berwarna hitam juga sedikit. Sampah plastik, batang pohon, dedaunan, dan beraneka sampah rumah tangga menyebar di seluruh badan sungai. Baunya pun tidak harum. "Kalau hujan lebat, banjir datang. Kami terpaksa ikut dorong-dorong sampah supaya tidak menyumbat," tutur Farida. Itu pula yang dikatakan Hayarni Tanjung (35) warga Asam Kumbang, Medan Selayang. Karena tidak tersedia tempat sampah, mereka juga memilih membuang sampah di sungai kecil yang melintas di Asam Kumbang. "Para tetangga juga melakukan hal yang sama," tutur Hayarni. Tahun lalu Hayarni masih membuang sampah di depan rumah dengan kantong plastik, yang akan diambil petugas. Kini, tak ada lagi. Pilihannya kemudian, ke pinggir sungai dan dibakar beramai-ramai di sana. Warga sebenarnya tahu, jika diatur, pengelolaan sampah bisa baik. Namun selalu muncul pertanyaan siapa yang mau mengatur? "Kepling dan lurah saja diam saja," kata Farida. Tempat sampah justru terdapat di atas trotoar di jalan protokol Kota Medan. Trotoar jarang digunakan orang untuk berjalan kaki, karena tidak nyaman. Tempat sampah dari bahan plastik berwarna hijau yang memberi tempat bagi sampah organik dan anorganik justru terlihat banyak yang pecah terkena vandalisme. Situs Pemeritah Kota Medan tahun 2006 menerangkan, dengan penduduk sekitar 2 juta, yang masing-masing orang diperkirakan menghasilkan 0,6 kilogram sampah per hari, setiap hari warga Medan menghasilkan sekitar 1.200 ton sampah. Penelitian Ilmi Abdullah, juga dalam situs itu, menyatakan bahwa 70,69 persen sampah merupakan sampah organik, sisanya 29,31 persen adalah sampah anorganik. Ilmi menyatakan dengan sampah sebesar itu bisa tercipta energi alternatif 6 hingga 8 MW per hari. Membuang sampah di tempatnya saja masih sulit, apalagi membedakan sampah organik dan anorganik. Menciptakan energi dari sampah Kota Medan? Masih angan-angan. (wsi) Post Date : 18 Februari 2008 |