Jakarta, Kompas - Warga miskin perkotaan lebih sulit mengakses air bersih dan membayar jauh lebih mahal dibandingkan warga lebih kaya. Hal ini mengemuka pada peringatan Hari Air Sedunia 2011 yang bertema ”Air Perkotaan dan Tantangannya”.
Hal itu disampaikan Koalisi Rakyat untuk Hak atas Air (KRuHA), Selasa (22/3). Hal serupa diserukan Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Ban Ki-moon pada peringatan Hari Air Sedunia oleh UNESCO di Jakarta. Badan PBB yang bergerak di bidang pendidikan, ilmu, dan kebudayaan itu menggelar lokakarya internasional ”Ecohydrology for Managing Sustainable Water Futures” bekerja sama dengan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).
Hadir dalam kegiatan itu antara lain Menteri Pekerjaan Umum Djoko Kirmanto, Kepala LIPI Lukman Hakim, Direktur UNESCO untuk Indonesia Hubert Gijzen, dan El-Mostafa Benlamih selaku United Nations Resident Coordinator in Indonesia.
Jumlah penduduk kota di dunia yang tidak memiliki akses pipa penyaluran air bersih saat ini meningkat 20 persen dari dekade sebelumnya menjadi 114 juta jiwa. Penduduk kota dunia yang tidak memiliki akses sanitasi dasar meningkat menjadi 134 juta jiwa.
”Penduduk termiskin dan paling rentan tak memiliki pilihan kecuali membeli air dari pedagang tidak resmi dengan harga 20-100 persen lebih tinggi daripada tetangga yang kaya, yang menerima pasokan air di rumah,” tulis Ban Ki-moon.
Sebagai gambaran, menurut koordinator nasional KRuHA, Hamong Santono, warga miskin di Jakarta membeli air bersih Rp 1.000-Rp 1.500 per jeriken isi 20 liter. Itu berarti Rp 50.000-Rp 75.000 per meter kubik. Padahal, harga air PDAM hanya Rp 5.000-Rp 6.000 per meter kubik.
Djoko Kirmanto mengakui, saat ini baru 50 persen penduduk Indonesia mengakses air bersih.
Tangkapan air kritis
Direktur Operasi Jawa-Bali PT PLN (Persero) Ngurah Adnyana mengemukakan, kelestarian lingkungan, terutama di area tangkapan air hujan, makin kritis. Hal ini memengaruhi produksi pembangkit listrik tenaga air (PLTA) yang dimiliki PLN.
”Pembangkit listrik di Waduk Cirata, Saguling, dan Jatiluhur, Jawa Barat, pada periode tahun 2010-2011 kehilangan produksi sebesar 1.000 megawatt dari total 1.600 megawatt karena airnya jauh berkurang,” katanya.
Sementara itu, kondisi hulu Sungai Brantas di Malang Raya, Jawa Timur, mengkhawatirkan. Sedimentasi dan erosi mengancam keberlangsungan mata air di sana dan berpotensi menimbulkan bencana banjir dan longsor. Demikian dikatakan Eko Wahyudi, Ketua Umum Fakultas Teknik Pengairan Universitas Brawijaya.
Di Kota Malang, keberadaan air bawah tanah mulai menipis. ”Dari tiga sumur bor milik PDAM di wilayah Tidar, satu sudah mengering,” kata Direktur PDAM Kota Malang Jemianto.
Sekretaris Direktorat Jenderal Cipta Karya Kementerian PU Susmono di Kabupaten Klaten, Jawa Tengah, menyatakan, baru 12 persen rumah tangga di pedesaan mampu mengakses air bersih PDAM. (NAW/DIA/EKI)
Post Date : 23 Maret 2011
|