|
Sudah lima tahun terakhir, Andri (35), warga RT 6 RW 04, Kampung Baru, tidak mendapatkan air bersih dari sumur di samping rumahnya. Andri yang menggunakan jet pump sudah berupaya memperdalam pantekan airnya sampai kedalaman 40 meter. Namun, harapan untuk mendapatkan air tanah sia-sia. ”Sekarang boro-boro dapat air, sumurnya sudah kering,” kata Andri, Senin (21/4), ketika berkumpul bersama warga bersilaturahmi dengan Sekretaris Komisi D (membidangi pembangunan) di DPRD DKI Jakarta Fathi R Shiddiq. Silaturahmi dengan warga dilakukan dalam reses anggota dewan selama seminggu, yang dimulai Senin kemarin. Wiraswasta ini mengenang, lima tahun lalu sumur miliknya, dengan kedalaman pantekan 25 meter, masih bisa menghasilkan air meski hanya untuk kebutuhan mandi dan kakus. ”Memasak dan untuk air minuman, saya tidak berani memakai air sumur. Saya pakai air PAM,” kata Andri yang akhirnya menutup sumurnya karena tidak berfungsi lagi. Tidak hanya Andri, Lukman (35), warga RT 7 RW 04, juga mengalami hal yang sama. Namun, Lukman masih lebih beruntung dibandingkan Andri. ”Saya masih bisa dapat air sumur dengan kedalaman 15 meter, tetapi airnya kotor dan bau. Airnya cuma bisa digunakan untuk menyiram tanah dan tanaman,” ujar Lukman. Warga bisa merasakan sumurnya kekeringan karena rata-rata industri pencelupan itu menggunakan air tanah dengan kedalaman 100 sampai 150 meter. Biaya mahal Andri dan Lukman, mewakili warga Kampung Baru, Sukabumi Selatan, yang sulit memperoleh air sumur bersih, menyusul hadirnya 61 usaha laundry and dry cleaning atau pencucian dan pencelupan blue jeans di sekitar permukiman penduduk di daerah itu. Dalam kondisi sulit mendapatkan air bersih, mereka terpaksa menggunakan air PAM dan terpaksa membeli air di tukang air keliling. ”Sebulan saya harus membayar rekening air PAM Rp 200.000 dan listrik Rp 200.000. Kalau lima tahun lalu, Rp 150.000 itu untuk biaya listrik, termasuk air dari sumur pompa,” kata Andri. Lukman menambahkan, sulitnya memperoleh air membuat dia harus mengeluarkan tambahan biaya. ”Kalau sebelumnya tarikan listrik untuk air sumur 1 kubik bisa setengah jam, sekarang paling cepat 1 jam. Tagihan listrik menjadi membengkak,” kata Lukman, yang setiap bulannya harus membayar tagihan listrik Rp 200.000, padahal sebelumnya dia hanya mengeluarkan Rp 100.000 per bulan untuk listrik. Tinggal janji Warga sudah bosan dengan janji-janji karena kasus ini telah mengemuka sejak tahun 1999 sampai 2004 dan 2006. Bahkan, Dinas Pertambangan DKI dan Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup DKI Jakarta menyatakan usaha itu tidak mengantongi izin usaha dan izin industri serta air limbah dari zat pewarna mengandung bahan beracun dan berbahaya (B3). Juga Instruksi Gubernur DKI Jakarta Nomor 95 Tahun 2005 tentang penertiban usaha binatu tanpa izin di delapan RW di Kelurahan Sukabumi Selatan (dahulu Sukabumi Udik), Kebon Jeruk, Jakarta. Sampai kapan warga Sukabumi Selatan bisa mendapat air tanah yang bersih lagi? Fathi R Shiddiq mengatakan, kearifan Pemprov DKI Jakartalah yang ditunggu. (pin) Post Date : 22 April 2008 |