|
Bandung, Kompas - Kekeringan yang melanda wilayah Bandung dan sekitarnya selama lima bulan terakhir mengakibatkan sebagian sumber air baku, seperti sumur milik warga, tidak mengeluarkan air. Mereka pun kembali menggunakan pompa air komunal yang masih berfungsi. Seperti di RW 14 Kelurahan Baleendah, Kecamatan Baleendah, Kabupaten Bandung, warga mengantre untuk menggunakan pompa air yang menggunakan tuas untuk menarik air dari penampungan air sedalam 8 meter di dekatnya. Setiap warga membawa dua sampai tiga jeriken ukuran 10-30 liter. "Setiap musim kemarau, inilah rutinitas warga untuk mengambil air di lokasi pompa. Bahkan, warga dari RW atau desa sekitar kadang mencari air di pompa-pompa komunal seperti ini," ujar Ketua RT 3 RW 14 Kelurahan Baleendah Affan Sopandi, Sabtu (19/7). Pompa komunal tersebut terletak di lokasi yang berdekatan dengan galian C dan berada di samping tebing. Jarak dari rumah warga terdekat tidak sampai 30 meter. Affan menjelaskan, pompa komunal didatangi warga karena hanya dari lokasi itu air bisa mengalir. Sebuah sepeda motor berpenumpang dua orang yang membawa jeriken kosong sempat melintas dan berhenti di depan pompa komunal tersebut, tetapi langsung pergi. Menurut Affan, mereka mencari pompa air yang tidak banyak digunakan warga. Dani (15), warga RT 3, mengambil air untuk kebutuhan sehari-hari keluarganya dari memasak hingga mencuci. Dia harus bolak-balik ke pompa itu karena setiap datang hanya bisa membawa tiga jeriken, sedangkan anggota keluarganya berjumlah enam orang. Jadi, kebutuhan air selama satu hari diperkirakan lebih dari 10 jeriken. Pemandangan serupa terlihat di Desa Langonsari, Kecamatan Pamengpeuk, Kabupaten Bandung. Sebuah lokasi pompa komunal di RT 3 RW 3 tengah digunakan warga untuk mengambil air dan mencuci di dekat pompa. Dengan gerobak, warga membawa tiga jeriken dari rumahnya menuju lokasi pompa untuk mengantre. Dikuasai industri Peneliti dari Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda, Mubiar Purwasasmita, mengemukakan, kekeringan di sumur warga selama musim kemarau adalah bukti masih lemahnya pengaturan lingkungan dari pemerintah. Sumur yang kering berarti habisnya air permukaan karena pengambilan air bawah tanah oleh industri atau dikuasai pemilik modal. "Pemerintah harus bisa mengidentifikasi sumber-sumber mata air dan didukung dengan penghijauan pada daerah tangkapan air dalam radius 50 meter dari sumber tersebut. Tujuannya, menjamin kualitas maupun kuantitas debit air," ungkap Mubiar. Affan mengatakan, keberadaan pompa air komunal di Kelurahan Baleendah itu merupakan hasil swadaya masyarakat sejak lebih dari lima tahun lalu. Perawatannya pun dilakukan dengan swadaya. Kalau ada kerusakan, tidak jarang warga harus merogoh kocek pribadi. Padahal, ada beberapa bagian yang sering diganti setiap minggu, seperti klep penghubung pompa dengan tuas. Menurut Affan, setiap warga sebenarnya memiliki sumur pribadi dengan rata-rata kedalaman 4 meter, tetapi begitu masuk musim kemarau langsung mengering. Lain halnya dengan warga pemilik pompa air listrik yang masih bisa mendapatkan air dari kedalaman 12 meter. Sebelum ada pompa komunal, warga harus mengeluarkan uang untuk membeli air dengan harga berkisar Rp 1.000 per jeriken kapasitas 30 liter. Warga RT 3, Khaerudin, mengungkapkan, pompa air di Desa Langonsari dibangun dengan dana Rp 1,4 juta, lima tahun lalu. Kalau ada kerusakan atau penggantian komponen yang membutuhkan biaya, barulah warga setempat mengumpulkan uang. (eld) Post Date : 21 Juli 2008 |