|
WARGA Dusun Kemantren dan Kaliputih, Desa Kemiri, Kec. Panti, Kab. Jember, Jawa Timur tak pernah membayangkan desanya luluh lantak diterjang banjir bandang dan tanah longsor. Sepanjang mereka tinggal di kampung tersebut, belum pernah ada banjir besar. Dalam 45 tahun terakhir, banjir terbesar tidak sampai masuk ke rumah-rumah warga. Namun, Senin (2/1) dini hari seakan menjadi mimpi buruk saja. Desa yang terletak di lereng Gunung Argopuro itu diterjang air setinggi tujuh meter. "Kami semua kaget dan tidak pernah menduga air setinggi tujuh meter menerjang rumah kami. Saya teriak-teriak tsunami... tusnami...! Air dari atas gemuruh dengan cepat menenggelamkan rumah-rumah kami. Saya sempat lari kencang ke tempat yang lebih tinggi," kata Ny. Rustiyah (45), saat ditemui di tempat pengungsian depan Kantor Desa Kemiri, Selasa (3/1). Warga mengaku teriak-teriak ada tsunami setelah air bah datang. "Air bah, bersama lumpur, dan ribuan kayu gelondongan menghantam rumah-rumah kami. Ketinggian air enam sampai tujuh meter. Rumah kami dalam waktu singkat tenggelam," tambah dia. Rustiyah mengaku selamat karena lari saat air bah menyapu semuanya. "Saya sempat dihantam kayu, sebelum akhirnya berhasil selamat karena terdampar di tempat yang tinggi," katanya. Dia bersama warga Desa Kemantren baru berhasil dievakuasi Selasa pagi kemarin. Jembatan yang menghubungkan antardesa putus sehingga mereka terisolasi dan tim SAR menunggu air surut. **BANJIR bandang dan tanah longsor yang menewaskan 58 orang serta memaksa 800-an jiwa lainnya orang mengungsi dan 500-an orang lagi terisolasi itu, di mata pakar hukum lingkungan, Dr. Suparto Wijoyo, bukanlah bencana alam. Tragedi tersebut adalah bencana ekologi. "Itu bukan bencana alam, karena kalau bencana alam berarti kesalahan Tuhan. Apa mungkin Tuhan dimejahijaukan? Menurut saya, banjir bandang di Jember itu bencana ekologi. Atas dasar itu, Bupati Jember harus dimintai pertanggungjawaban," katanya di Surabaya, Selasa kemarin. Menurut dosen Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya itu, bupati atau wali kota yang wilayahnya rawan bencana banjir, longsor, dan bencana lingkungan lainnya harus dimintai pertanggungjawaban. "Karena itu, saya minta Kapolwil dan Kapolda Jatim menindak secara hukum terhadap bupati dan wali kota yang tak memiliki kebijakan untuk mencegah bencana lingkungan. Bagaimanapun, kepala daerah itu harus memiliki manajemen penataan lingkungan," ujarnya. Banjir bandang di Jember bukan masalah primer, melainkan problem ikutan yang diakibatkan buruknya manajemen lingkungan dari kepala daerah setempat. "Boleh saja, bupati atau wali kota yang ada mengelak dengan menyebut kebijakan lingkungan yang salah merupakan warisan bupati atau wali kota terdahulu. Namun dia tetap dapat dikatakan bersalah karena dia seharusnya melakukan koreksi atas kebijakan yang salah," papar Suparto. Manajemen lingkungan yang buruk menyebabkan hutan menjadi gundul. "Hutan gundul akibat dipotong setan gundul. Saya katakan setan gundul karena orang-nya tak tersentuh hukum. Dia tak tersentuh hukum karena aparatnya tidak beres," tegasnya. Artinya, manajemen lingkungan yang buruk lebih tepat dikatakan sebagai bencana ekologi atau bencana lingkungan yang menuntut adanya pertanggungjawaban dari kepala daerah dan sejumlah kepala dinas. Kepala dinas yang harus bertanggung jawab antara lain Kepala Dinas Kehutanan, Kepala Dinas Tata Ruang, Kepala Dinas Pertamanan atau lingkungan, dan kepala dinas lainnya yang terkait dengan masalah ekologi. Sama halnya dengan bupati/wali kota, para kepala dinas itu dapat saja mengelak bahwa mereka bukan pelaku di lapangan, namun polisi tetap dapat menjerat mereka dengan kesalahan mereka sebagai pemangku hutan atau pemangku wilayah. "Jadi, polisi dapat menuntut Kadishut secara hukum dengan adanya bencana banjir bandang dan hutan gundul sebagai bukti yuridis, apalagi bupati/wali kota dalam konteks otonomi daerah juga menjadi pemegang otoritas kewilayahan," Demikian Suparto. Nah..! (Ibnu Sofwan/"PR"/dtc) Post Date : 04 Januari 2006 |