|
BAGI warga Gang Situgunting Barat RW 9 Kel./Kec. Babakan Ciparay Kota Bandung, surutnya air di sumur adalah sebuah lagu lama. Sudah puluhan tahun warga tak lagi bergantung pada air sumur untuk berbagai kebutuhan, apalagi untuk minum. Padahal, sebagian warga asli Situgunting menyebutkan, daerahnya sempat dikenal sebagai tempatnya sumur siuk. Maksudnya, dulu, air di sumur-sumur warga sangat penuh hingga hampir mendekati bibir sumur. Saking dekatnya dengan permukaan, warga bisa mengambilnya hanya dengan cara disiuk tanpa harus menimba. "Wah, itu mah (sumur siuk) sudah lama sekali. Sekarang sumur saya di rumah sudah tak ada airnya. Kalaupun ada, sangat kotor dan bau," kata Endi Rohendi (46), warga setempat. Sumur warga di Situgunting memang semakin surut setiap tahunnya. Banyak berdirinya kompleks perumahan dan pabrik-pabrik di sekitar Situgunting, serta kian banyaknya jumlah penduduk diyakini Endi sebagai faktor penyebab surutnya air di daerahnya. Dahulu, daerah Situgunting merupakan daerah persawahan dan kebun. Jumlah penduduk pun masih bisa dihitung dengan jari. Kesulitan air merupakan hal mustahil saat itu. Setelah kesulitan air melanda warga, pemasangan air PDAM merupakan satu-satunya alternatif mendapatkan air bersih. Namun, beberapa tahun belakangan, air PDAM di daerah ini tak mengocor sama sekali. Warga pun beralih dengan cara membeli air. Tak jarang mereka harus rela mengantre panjang untuk mendapatkan air bersih. Untungnya, kebaikan salah seorang wakil rakyat dari daerah pemilihan Situgunting memberikan satu solusi bagi kesulitan air di daerah ini. Dibantu masyarakat setempat, sebuah sumur bor dengan kedalaman sekira 80 m sengaja dibangun di tengah-tengah permukiman. Dilengkapi dengan sebuah mesin pompa tekanan tinggi dan menara air berkapasitas 2.000 liter, air sumur bor itu kini dimanfaatkan seluruh warga RW 9. Karena dibangun oleh warga, pengelolaannya pun dilakukan oleh mereka. Dari warga, oleh warga, untuk warga. Atas inisiatif warga, sebuah "kepengurusan" sengaja dibentuk untuk mengelola air sumur bor itu. Mereka pun kemudian menganggarkan dana untuk membeli berbagai macam keperluan untuk mendistribusikan langsung air sumur bor ini ke tiap-tiap rumah. Maka, dibelilah 60 jeriken air berkapasitas 20 liter lengkap dengan gerobak pengangkutnya. Semuanya milik warga atas nama RW. "Warga yang ingin mengambil air harus datang sendiri, mengisi air sendiri, dan membawa roda sendiri," kata Didin Supriyatna (32), salah seorang staf RW pengelola air sumur bor ini. Untuk tambahan biaya listrik dan perawatan mesin, satu jerigen air dihargai Rp 100 saja. Bagi warga yang tak ingin susah payah mendorong roda air tiap hari, sebagian menyisihkan anggaran belanjanya dengan membeli pipa. Mereka kemudian menyambungkan pipa-pipa itu dari menara air (toren) ke rumah masing-masing. Saat ini tercatat tiga RT yang menyambungkan langsung air itu ke rumahnya. Sebagai kompensasi, warga yang menyambung langsung itu dikenakan biaya Rp 30.000/bulan. Harga tersebut untuk rumah tangga biasa, dan sedikit lebih tinggi jika dipergunakan untuk industri rumah tangga. "Tiap hari kami menjual air sekira 70 jeriken. Belum termasuk yang menyambung langsung. Kami cukup diuntungkan dengan adanya sumur bor ini. Nggak kebayang jika kami hanya bergantung pada air sumur atau air PDAM saja," kata Dicky Restiadi (32), pengelola lainnya. Setiap hari, satu KK yang hanya bergantung pada air sumur bor rata-rata membutuhkan air 16 jerigen. Namun, bagi warga yang memiliki sumber air lainnya biasanya hanya membutuhkan air sumur bor untuk air minum, sekira 5 jeriken untuk 4 hari. "Air dari sumur bor ini tidak bau dan jernih. Kalau dari sumur biasanya tak dapat diminum apalagi kalau sudah hujan, karena selalu keruh dan bau. Harga tak terlalu masalah karena kita memang butuh," kata Nining (44), warga RT 7 RW 9. Kebanyakan warga mengaku sangat diuntungkan dengan keberadaan sumur bor tersebut. Namun, karena masih berlimpahnya air sumur bor saat ini, warga mungkin belum sempat berpikir, bagaimana kalau air sumur bor ini nanti surut juga? (Deni Yudiawan/"PR") Post Date : 17 April 2006 |