Warga Kalialang Baru Antre Air

Sumber:Suara Merdeka - 12 Juli 2007
Kategori:Air Minum
SEMARANG- Meski musim kemarau baru memasuki tahap awal, sebagian wilayah di Kota Semarang telah mengalami kekeringan. Selain puluhan hektare lahan padi di Kelurahan Rowosari, Tembalang yang puso, dampak kekeringan dirasakan pula warga Kampung Kalialang Baru, khususnya di wilayah RW 6 dan RW 7, Kelurahan Sukorejo, Kecamatan Gunungpati.

Sudah lebih dari dua bulan terakhir warga kampung tersebut mengalami kesulitan air bersih. Di beberapa RT, aliran air dari Sendang Gayam yang menjadi sumber air utama kawasan itu telah mati.

Untuk memasak, warga terpaksa harus membeli air dari pedagang keliling, sedangkan kebutuhan mandi dan mencuci ada yang melakukannya di Sendang Gayam atau Kali Kripik, yang berjarak sekitar 1 km.

''Sudah lebih dari dua bulan air sendang yang dialirkan ke permukiman warga mati. Kami membeli air dari penjual keliling, satu pikul Rp 800. Ini menambah beban kami,'' kata Ragil (62) warga Kalialang Baru RT 4 RW 7, Rabu (11/7).

Sementara air Sendang Gayam yang dialirkan ke wilayah RT 3 RW 7 debitnya kian mengecil. Mereka terpaksa harus antre jeriken untuk mendapatkannya. Pembagian dilakukan merata. Mengingat debit air yang kecil, satu keluarga hanya kebagian jatah satu pikul sehari.

Mandi Sekali

Widodo (41), seorang warga menuturkan, untuk menghemat air sebagian di antaranya mereka terpaksa mandi satu kali dalam sehari. Mandi dilakukan di Sendang Gayam atau Kali Kripik yang letaknya relatif jauh dari permukiman.

Air, kata Widodo, merupakan persoalan klasik di Kampung Kalialang Baru. Tiap musim kemarau datang, air Sendang Gayam selalu surut, bahkan mengering. Padahal sendang itu menjadi gantungan utama warga untuk mendapatkan air bersih. ''Kalau sudah begini, air bisa menimbulkan perselisihan antarwarga. Tak jarang ada ibu-ibu yang bertengkar gara-gara air. Misalnya karena ada menyerobot antrean,'' ujar Widodo.

Berbagai upaya pernah dilakukan warga untuk mendapatkan sumber air bersih, namun tak pernah membuahkan hasil. Tahun 1993 atas bantuan Yayasan Soegijapranata warga membuat sumur artesis. Meski sudah dibor sedalam 100 meter, air tetap tidak keluar. Warga juga pernah mengajukan sebagai pelanggan air kepada PDAM, namun tidak disetujui dengan dalih keterbatasan pasokan air.

Sementara Ny Giranto (46), warga yang lain, mengaku dua jeriken air yang diperoleh dari hasil antre, tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan dalam sehari. Untuk itu dia harus membeli air seharga Rp 2.500/pikul. ''Kami berharap pemerintah bisa meringankan beban warga.''(H6-18)



Post Date : 12 Juli 2007