|
Jeneponto, Kompas - Memasuki musim kemarau warga Kabupaten Jeneponto, Provinsi Sulawesi Selatan, semakin cemas karena air di sumur-sumur mereka terus menyusut. Bahkan, warga sudah mulai menampung air di bak-bak penyimpanan untuk mengantisipasi puncak kekeringan pada September-Desember mendatang. Di sebuah sumur desa yang berada di Kecamatan Bangkala, Kabupaten Jeneponto, Sulsel, ketinggian air sudah berkurang hingga lima meter dari kedalaman sumur sekitar 15 meter. Air sumur ini setiap harinya dimanfaatkan warga untuk kebutuhan sehari-hari, seperti mandi, cuci, dan minum. Bahkan, di desa ini sudah ada sumur yang menyusut hingga 10 meter, diperkirakan airnya akan segera habis. Di sini hanya ada lima sumur yang dimanfaatkan seluruh warga desa. Kadang bahkan ada satu sumur yang airnya tidak bisa dipakai karena asin, ujar salah seorang warga desa bernama Mamat (35). Penyusutan air ini diperkirakan tidak sampai akhir Agustus ini. Jika air yang mereka simpan tidak mencukupi, warga akan membeli air dari Allu, ibu kota Kecamatan Bangkala, Rp 5.000 untuk lima jeriken yang masing-masing berisi 25 liter. Jeneponto memang dikenal sebagai daerah yang paling kering di Sulsel. Kekeringan yang terjadi di Jeneponto dari tahun ke tahun semakin parah. Sementara itu, sebagian besar wilayah Nusa Tenggara Timur kondisinya tidak lebih baik. Dampaknya tidak saja membuat rumput-rumput kering, tetapi sumber-sumber air baik untuk konsumsi manusia maupun ternak, serta untuk pertanian terus menyurut, dan mengering. Waduk Tilong di Kupang Tengah yang pada musim hujan lalu menampung air hingga batas elevasi tertinggi 93,40 meter, pada hari Kamis menyurut hingga 89 meter. Ini berarti telah mendekati titik minimum 82 meter. Air waduk tidak lagi jernih tetapi berwarna hijau lumut. Surutnya debit air seperti yang terlihat pada hari Kamis itu bahkan lebih buruk dibandingkan dengan kondisi November 2004, yang masih lebih tinggi dua meter. PDAM Banjarmasin Sementara di Provinsi Kalimantan Selatan air sungai surut dan intrusi menyebabkan air laut menembus ke bagian hulu. Akibatnya, Perusahaan Daerah Air Minum Kota Banjarmasin tidak bisa mengolah air baku dari sungai dengan kadar garam tinggi itu. Direktur Utama Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Bandarmasih, Banjarmasin, Zainal Arifin dan Direktur Teknik Nurul Fajar Desira di Banjarmasin menjelaskan, kadar garam air baku di Sungai Bilu mencapai 3.000 miligram per liter, padahal ambang batasnya 250 miligram per liter. Akibatnya, intake air baku dari Sungai Bilu dihentikan sementara. Dua intake lagi, yakni di Sungai Tabuk dan Sungai Pematang di Kabupaten Banjar, masih beroperasi secara normal karena relatif jauh dari laut. Dari tiga intake tersebut, PDAM Bandarmasih mampu menghasilkan 1.100 liter air bersih per detik untuk 82.000 pelanggan. Dengan berhentinya intake Sungai Bilu produksi air berkurang sekitar 600 liter per detik. Saat ini PDAM Bandarmasih berusaha meningkatkan kapasitas pendistribusian air bersihnya hingga mencapai 1.875 liter per detik. Tujuannya, untuk memenuhi kebutuhan air bersih Kota Banjarmasin dan sekitarnya hingga tahun 2015. Untuk itu, saat ini sedang disiapkan proyek penambahan pipa sepanjang lima kilometer untuk distribusi air bersih dari intake di Pematang. Proyek itu didanai bersama, yakni dari Pemprov Kalsel Rp 5 miliar, Pemkot Banjarmasin Rp 3,5 miliar, dan pemerintah pusat melalui APBN sekitar Rp 16 miliar. Diharapkan tahun 2006 sudah selesai sehingga penyediaan air bersih Kota Seribu Sungai ini bisa teratasi. (NTS/FUL/doe/CAL) Post Date : 19 Agustus 2005 |