|
Jakarta, Kompas - Kekeringan yang melanda sebagian Pulau Jawa belakangan ini juga telah meresahkan warga Jakarta di sejumlah kawasan. Pasalnya, pasokan air bersih yang mereka terima mulai berkurang. Mulai kurangnya pasokan air bersih ini, antara lain, dialami sejumlah warga di Kecamatan Kalideres dan Cengkareng, Jakarta Barat, serta warga Pejaten, Pasar Minggu, Jakarta Selatan. "Sejak dua minggu terakhir, air PAM sudah tidak mengalir lagi di rumah," keluh Johan Tarumajaya, warga Perumahan Kalideres Permai, Kalideres, Jakarta Barat, Minggu (16/7). Johan mengaku sudah mendengar penjelasan PT Palyja, perusahaan pengelola air bersih untuk Jakarta bagian barat, bahwa terhentinya suplai air minum di rumahnya karena suplai air baku dari bendungan Jatiluhur, Jawa Barat, berkurang dari 6.200 liter per detik menjadi hanya 3.000 liter per detik. Namun, penjelasan itu tidak mengurangi kecemasan Johan yang juga Lurah Kalideres ini. Pasalnya, pada bulan Juli tahun lalu, air PAM masih mengalir di rumahnya meski hanya sekitar tiga jam dalam sehari semalam. Padahal biasanya air mengalir dari pukul 20.00 hingga dini hari. "Saya makin cemas karena di media massa diberitakan musim kemarau masih akan panjang, bahkan katanya hingga menjelang akhir tahun," papar Johan yang merasa khawatir. Untuk mencukupi kebutuhan air keluarganya, sekarang Johan mengandalkan kiriman air bersih dari mobil tangki. "Pengeluaran jadi bertambah. Setiap kali dikirim, yaitu dua hari sekali, saya harus mengeluarkan Rp 50.000. Padahal, jika air PAM lancar, sebulan saya hanya membayar Rp 100.000-Rp 150.000," ujarnya. Sementara itu, Jaya Hidayat, warga RT 03 RW 01, Kecamatan Kalideres, terpaksa memperbanyak membeli air dari tukang penjual air. Jika sebelumnya setiap hari dia hanya membeli dua jeriken yang masing-masing berisi sekitar 20 liter, sekarang dia bisa membeli enam hingga delapan jeriken. Hal itu terjadi karena sumur di rumah Jaya sejak satu minggu terakhir telah kering. Akibatnya, jika sebelumnya air yang dia beli hanya untuk memasak dan minum, sekarang juga untuk mandi. "Pengeluaran jadi membengkak. Dulu, untuk membeli air, sehari cukup Rp 2.000. Sekarang minimal Rp 6.000," ucap Jaya. Mudiyanto, penjual air di kawasan Kamal, Cengkareng, Jakarta Barat, mengakui belakangan ini permintaan air memang meningkat. Namun, dia juga waswas karena air di tempat dia kulakan, yaitu di Jalan Raya Kamal, sewaktu-waktu dapat berkurang atau habis. "Pada 7 Juli lalu teman-teman saya di daerah Kapuk, Jakarta Utara, berhenti berjualan selama empat hari karena tidak ada suplai dari PAM. Sekarang memang sudah mengalir, tetapi hanya setengahnya. Akibatnya, teman-teman tetap belum dapat bekerja normal," papar Mudiyanto.(NWO) Post Date : 17 Juli 2006 |