|
Sampah identik dengan sesuatu yang kotor, tidak berguna dan harus dibuang. Pendapat seperti itu tidak selamanya benar. Warga Kampung Dumpoh, Kelurahan Potrobangsan, Kota Magelang membuktikan. Sampah rumah tangga yang dulu dibuang, diubah menjadi produk laku jual. Ketika memasuki Kampung Dumpoh yang berada tak jauh dari pusat kota, kita akan melihat drum-drum sampah yang ditempatkan di sejumlah sudut jalan maupun gang. Masing-masing drum tertera tulisan jenis sampah untuk menghindari agar tidak campur. Di depan rumah sejumlah warga juga terpasang kapstok dengan tas-tas sampah yang bergantungan. Tas-tas hasil kreasi warga itu juga dimanfaatkan untuk menampung berbagai sampah rumah tangga. Gambaran seperti itu setidaknya sudah mencerminkan kesadaran masyarakat setempat terhadap kebersihan lingkungan. Mereka tidak lagi membuang sampah sembarangan karena telah tersedia tempat penampungan sampah yang dekat dengan rumah. Tak heran, bila Dumpoh dipercaya sebagai kampung percontohan pengelolaan sampah berbasis masyarakat. Kesadaran masyarakat itu sedikit banyak ikut memberikan andil terhadap keberhasilan Kota Magelang meraih penghargaan Adipura 2008. Setiap pagi sampah-sampah itu diambil dan dikumpulkan di tempat penampungan akhir sampah (TPAS) yang disediakan. Di tempat itulah, berbagai sampah rumah tangga itu dipilah-pilah dan dikumpulkan sesuai pemanfaatnya. Untuk jenis sampah tertentu seperti kaleng, kertas, botol maupun plastik bisa langsung dijual kepada pengepul barang rosok. Untuk sampah basah, termasuk daun-daunan bisa diolah menjadi pupuk organik. Khusus plastik bekas pembungkus kopi/susu atau snack 'disulap' menjadi berbagai produk kerajinan yang laku jual. Seperti tas, dompet, taplak dan hiasan lainnya. Pembuatan kerajinan dari plastik bekas pembungkus itu dilakukan oleh ibu-ibu di saat senggang. Plastik pembungkus yang dikumpulkan di TPAS itu kemudian dicuci hingga bersih. Baru kemudian dijahit dan diberi aksesoris seperti yang diinginkan. Harga yang ditawarkan pun bervariatif, tergantung ukurannya. Yakni berkisar antara Rp 5.000 hingga Rp 25.000. "Hasilnya cukup lumayan. Selain menciptakan peluang kerja baru, juga bisa menambah uang kas yang nantinya juga dimanfaatkan oleh ibu-ibu," terang Ketua RW VII Kampung Dumpoh H. Abdurrahman. Pengolahan pupuk organik ditangani oleh sejumlah warga yang mengerti dalam bidang tersebut. Pupuk tersebut kemudian dijual kepada petani atau dititipkan di toko-toko pertanian yang ada di Magelang. "Peluangnya sangat terbuka karena banyak petani yang mulai beralih ke pupuk organik," imbuh Yono, salah satu warga yang dipercaya mengelola sampah itu. Sebelum dipercaya mengelola sampah bersama warga yang lain, lelaki yang masih lajang ini pernah mengikuti pelatihan tentang pengolahan dan pemanfaatan sampah rumah tangga di Jogjakarta. "Hasil dari pelatihan itu, kemudian kami coba praktikan di sini. Seperti membuat pupuk organik serta berbagai kerajinan dan aksesoris dari bahan sampah rumah tangga," tuturnya. Abdurrahman mengakui mengubah perilaku masyarakat memang tidak mudah. Perlu waktu dan kesabaran. Namun lambat-laun masyarakat mulai menyadari pentingnya menjaga kebersihan lingkungan, salah satunya dengan membuang sampah di tempat yang disediakan. Menurutnya, Dumpoh telah dipercaya oleh Pemkot Magelang sebagai salah satu kampung percontohan pengelolaan sampah rumah tangga. Kepercayaan itu diwujudkan dalam bentuk pelatihan maupun bantuan peralatan. "Tak hanya perkakas untuk penampungan sampah saja, khusus Dumpoh mendapatkan bantuan sepeda motor sampah yang biasa digunakan untuk mengangkut sampah setiap pagi," ungkapnya. JOKO SUROSO, Magelang Post Date : 07 Juli 2008 |