|
BANDUNG (Media): Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso menyesalkan tidak bisa beroperasinya Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Bojong karena munculnya protes dari sejumlah kalangan, terutama penduduk sekitar. Jika itu terus berlanjut, dia memprediksi masyarakat Ibu Kota akan terancam tumpukan sampah. "Dalam waktu dekat masyarakat DKI akan tidur di atas tumpukan sampah. Selain itu, penumpukan sampah secara tradisional akan menyebabkan pencemaran air tanah yang sulit dicegah," kata Bang Yos, sapaan akrab Sutiyoso, di sela kegiatan Pengukuhan Pamong Praja Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri (STPDN) di Bandung, Jawa Barat, kemarin. Berlarut-larutnya masalah ini, Bang Yos mengeluhkan programnya dalam mengatasi sampah di Ibu Kota ikut tertunda. Padahal, untuk mengatasi masalah sampah di DKI, Gubernur DKI Jakarta ini sudah menandatangani perjanjian dengan lima investor, dua di antaranya investor asing dan tiga lainnya dari dalam negeri. Akibat berlarut-larutnya masalah TPST Bojong, kata dia, dua investor asing sudah tidak bersedia melanjutkan proses dan menolak berinvestasi. Dalam pandangan Sutiyoso, kegagalan pembangunan pengolahan sampah berteknologi tinggi di Bojong bisa dibilang merupakan kegagalan bagi proyek serupa di Tanah Air. Sebagai proyek pertama, kata dia, Bojong menjadi sorotan dan percontohan di Indonesia. "Seharusnya uji coba dilakukan dulu, baru siapa pun memberikan penilaian. Kalau buruk hasilnya, memang harus ditolak. Tapi kalau terbukti aman bagi lingkungan, harus bisa diterima semua pihak," urai mantan Panglima Kodam Jaya tersebut. Gubernur Sutiyoso memastikan banyak negara maju di dunia sudah memiliki instalasi pengolahan sampah dengan teknologi tinggi yang berada di dalam kota besar. Selama ini, urai pensiunan jenderal berbintang tiga itu, tidak ada masalah yang ditimbulkan, karena teknologi yang digunakan memang aman untuk lingkungan. Kepentingan Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI dalam pengoperasian TPST Bojong, menurut Sutiyoso, semata-mata sebagai pengguna jasa. Dengan posisi seperti itu, DKI akan membayar dari sampah yang dikirim ke TPST kepada investor yang menyediakan sarana pengolahannya. Dengan semangat seperti itu, Sutiyoso mengaku agak kesal dengan pihak-pihak yang langsung menyatakan ketidaksetujuannya, meski belum mengerti persoalan secara rinci. "Anggota DPR memang tidak setuju, karena mereka ini orang-orang politik, yang tentunya memiliki tujuan tertentu. Tapi kalau ditanya setelah Bojong tidak diperbolehkan, apa mereka punya alternatif penggantinya." Tetap tolak Penolakan terhadap pengoperasian TPST Bojong, terutama dari warga sekitar didukung kalangan lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan lainnya memang terus mengemuka. Terakhir, sepanjang Selasa (2/8) sampai Rabu, keesokan harinya suasana panas mengemuka di Kampung Rawajeler, Desa Bojong, lokasi pembuangan sampah tersebut. Saat itu wilayah tersebut bergejolak. Ketika berkunjung ke sana Rabu (3/8) lalu, Desa Bojong yang terletak 2 km dari persimpangan Cipuecang, dipenuhi sekitar 400 orang warga yang berunjuk rasa menolak rencana uji coba TPST yang dikelola PT Wira Guna Sejahtera (WGS) itu. "Pokoknya kami tolak desa kami jadi tempat pembuangan sampah. Sehari saja sampah enggak diangkut, wah baunya enggak ketulungan, apalagi jika sampah se-Jakarta dibuang ke sini," teriak seorang perempuan, salah satu dari pendemo, yang sebagian besar memang terdiri atas kaum ibu. Sebelum mencapai desa ini, harus melewati Desa Situsari. Sepanjang perjalanan melewati Situsari, Media disuguhi pemandangan tak sedap. Pohon-pohon yang ditebang masih melintang di sepanjang jalan. Selain pohon, terdapat drum dan patahan beton, dan ban bekas yang dibakar. Ini aksi blokade yang digelar warga sepanjang 8 km, dari Desa Situsari hingga pertigaan Klapanunggal-Bojong-Gandoang. Blokade ini mengakibatkan kendaraan roda empat tidak dapat melintas. Perjalanan ke TPST Bojong harus melewati jalan kecil yang tidak rata di antara rumah-rumah penduduk. Beruntung Media ditemani tukang ojek andal. Sepeda motor 'Kang Ojek' bergerak lincah di sepanjang jalan yang melewati kuburan, kandang sapi, hamparan sawah, dan rumpun bambu. Sekali waktu Media sempat tersangkut di tali jemuran yang melintang di jalan kecil setinggi 1,2 meter di Desa Situsari. Saat ini situasi memang sudah mulai tenang, blokade yang digelar para pengunjuk rasa sudah dibersihkan. Jalan menuju desa itu sudah bisa dilalui. Meski begitu, tidak bisa dimungkiri suasana mencekam masih terasa. Sebelum ada keputusan yang melegakan, warga berjanji akan tetap bersiaga, dan menggelar aksi untuk menolak pengoperasian tempat pembuangan sampah yang disebut-sebut canggih tersebut. Mereka mengaku akan terus berdemo sampai TPST Bojong ditutup. "Tidak ada tawar-tawaran. Pokoknya harus tutup," urai Samsul, seorang penduduk yang ditemui di sana, beberapa hari lalu. Sayangnya, untuk masuk ke lokasi TPST Bojong lumayan sulit. Saat tiba di lokasi itu Rabu siang lalu, untuk sekedar melongok ke dalam saja sulit. Gerbang hijau bertuliskan PT WGS dan pintu gerbang kecil untuk pejalan kaki di ujung, semuanya tertutup. Dari sela-sela pintu terlihat beberapa orang berkaus abu-abu celana cokelat dan berseragam sekuriti biru tua. "Mana surat izinnya Mas? Ada perintah dari atasan untuk menolak semua pihak yang mau masuk," tanya seorang petugas berbaju biru tua itu. Saat menyinggahi Pos I Forum Komunikasi Peduli Lingkungan (FKMPL) Bogor, terlihat keramaian ibu-ibu yang bersiaga untuk menggelar demo. Beberapa di antaranya menggendong anak kecil. Pos ini berada persis di depan rumah Taing, seorang terdakwa kasus perusakan TPST November 2004, yang sudah menjalani hukuman 8 bulan. (SG/EM/*/DC/J-1) Post Date : 09 Agustus 2005 |