|
Dua dari sejumlah masalah krusial yang dihadapi kota besar di dunia adalah polusi dan sampah. Di beberapa negara maju, sampah sudah bisa dikendalikan, tinggal polusi yang kini menjadi sorotan karena memicu pemanasan global. Lantas, bagaimana di Indonesia, termasuk Yogyakarta? Apa yang dilakukan warga RW 11 Kelurahan Gowongan, Jetis, Yogyakarta, bolehlah diacungi jempol. Memilah sampah organik yang mudah terurai oleh bakteri dengan anorganik yang sulit merupakan sebuah pilihan tepat. Di satu sisi, upaya itu bisa mengurangi masalah sampah yang kini terus dicarikan solusinya, sedangkan di sisi lain mereka memperoleh manfaat. "Dengan cara ini, kita masih bisa memanfaatkan barang yang selama ini dibuang. Semua sampah rumah tangga yang organik, termasuk nasi basi, bisa dimanfaatkan untuk pupuk," kata Bu Kardi (60-an), salah seorang warga yang mulai memanfaatkan sampah organik menjadi kompos, di sela acara launching Program Pengelolaan Sampah Mandiri oleh Pemerintah Kota, Sabtu (26/4). Melalui sebuah metode yang dikenal dengan istilah Takakura, warga termasuk rumah tangga biasa dapat melakukannya secara mudah. Tidak ada alat khusus karena hanya memisah mana saja sampah yang masuk kategori organik, seperti dedaunan, dan sampah anorganik seperti plastik, ke wadah berbeda. Istimewanya lagi, tidak perlu lahan luas. Bu Kardi, misalnya, hanya menempatkan sampah organik dalam sebuah keranjang dari bahan berukuran sekitar 40 cm x 40 cm x 50 cm di taman kecil dekat rumahnya, yang masuk kawasan pinggir Sungai Code. Agar proses komposisasi berjalan baik, ia menempatkan kertas kardus sebagai lapisan dalam dinding keranjang. Perlakuan terhadap sampah di dalamnya juga sederhana. "Kita tinggal membasahi saja jika sampah di dalamnya kering. Setiap hari bisa dimasukkan sampah baru, tinggal di aduk-aduk saja," tuturnya. Karena mudah dan bermanfaat itulah, Wali Kota Herry Zudianto sempat berujar bagaimana jika istilah "membuang" sampah perlahan digeser menjadi "menempatkan". Tentu saja, kalau membuang artinya sudah tidak dipakai, tetapi jika menempatkan berarti masih bisa dimanfaatkan. Ketua Tim Penggerak PKK Kota Dyah Suminar mengemukakan pengelolaan sampah mandiri juga dilakukan di Kelurahan Baciro dan Prawirodirjan, yang merupakan bantuan sebuah perusahaan swasta. Program yang menjadi unggulan dalam hal pengelolaan lingkungan ini telah dirintis sejak 2007. Melalui cara inilah, harapannya volume sampah di Kota yang mencapai 300 ton per hari, terutama sampah rumah tangga, bisa disiasati. Berdasarkan catatan Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Yogyakarta, baru 85 persen sampah yang terangkut ke tempat pembuangan akhir di Piyungan. Sisanya, 15 persen diselesaikan sendiri oleh warga, misalnya menempatkannya di halaman. Memang ada sejumlah kendala dalam hal mengelola sampah, salah satunya minat masyarakat. "Yang perlu kita lakukan sebenarnya berpikir global dengan tindakan lokal. Misalnya, apakah yang saya lakukan telah ada andilnya untuk bumi ini. Sehingga ada dampak positifnya," kata Kepala DLH Kota Yogyakarta Hadi Prabowo. (WER) Post Date : 28 April 2008 |