|
BOGOR (Media): Puluhan desa di tiga kecamatan di wilayah Bogor Barat, Kabupaten Bogor, yakni Kecamatan Ciseeng, Rancabungur, dan Cibungbulang mulai dilanda kekeringan. Selain kesulitan mendapatkan air bersih, ribuan hektare persawahan pun kini meranggas. Kondisi ini sudah berlangsung sejak satu bulan lalu, namun belakangan semakin parah. Desa-desa di Kecamatan Ciseeng yang dilanda kekeringan di antaranya Desa Karihkil, Parung Leungsir, Bambu Kuning, Ngelayanti, Babakan Sirna, Parung Areuy dan Parung Jengkol, Cibeuteung Udik, dan Putat Nutug. Adapun di Kecamatan Rancabungur meliputi Desa Bantar Jaya, Bantar Kambing, Pasir Gaok, Cimulang, Desa Mekar Sari, dan Desa Ranca Bungur. Menurut Sekretaris Desa Karihkil Ahmad Sujai yang ditemui Media Indonesia, kemarin, kekeringan yang melanda wilayahnya merupakan dampak musim kemarau selama beberapa bulan terakhir. Hujan memang sesekali turun, tetapi itu tidak memengaruhi kondisi yang ada. Dalam sebulan belakangan, sebanyak 9.984 warga Desa Karihkil pun terpaksa menggunakan air sungai untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Pasalnya, sumur milik mereka yang selama ini diandalkan telah kering. Bukan hanya itu, sekitar 128 hektare lahan persawahan tidak bisa lagi ditanami padi. "Sebenarnya untuk sawah bukan kali ini saja (kekeringan). Sejak 1995, sawah di sini sudah susah ditanami padi karena kesulitan air, tetapi sekarang semakin parah. Padahal dulu di sini penghasil padi juga," kata Sujai. "Sekarang kita tidak mungkin menunggu hujan turun. Kini kami cuma mohon kepada pihak-pihak terkait untuk memperbaiki sumber-sumber air seperti di Cidepit. Kalau terus begini, warga benar-benar akan mengalami krisis air," imbuhnya. Berdasarkan pantauan Media Indonesia di Kecamatan Rancabungur dan Ciseeng, lahan-lahan pertanian milik warga mulai mengering dan retak-retak. Bahkan di beberapa lokasi, sawah-sawah tersebut tidak bisa lagi ditanami padi karena tanahnya mengeras. Untuk menyambung hidup, warga beralih menanam palawija. Toh bukan berarti kesulitan warga terurai. Sebab, untuk menyiram tanaman palawija, mereka harus mengambil air dari sungai yang jaraknya berkilo-kilo meter. Seperti yang dilakukan Ending, warga Kampung Kramat, misalnya. Supaya tanaman ubi jalar dan jagungnya tetap hidup, dia mengambil air dari Sungai Cisadane dengan menggunakan ember yang dipikul. Dalam satu hari, dia dua kali melakukan penyiraman, pagi dan sore. "Kalau tidak begini, kering Mbak dan tidak akan ada hasilnya. Capai sih capai tapi mau bagaimana lagi, di sini susah sekali air," keluh Ending. Guna memenuhi kebutuhan sehari-hari seperti minum, mandi, cuci, dan buang hajat, warga harus melakukan hal yang sama. Kalau sebelumnya warga bisa mencuci dan mandi di rumah masing-masing, kini harus rela berjalan kaki ke Sungai Cisadane. Sumur-sumur yang ada telah kering. Seperti yang dilakukan Dewi Surtini, 18, Yuli, 16, dan Fitri, 16, kemarin ketiganya tengah mencuci pakaian di sungai yang airnya juga mulai surut. ''Habis gimana. Di rumah memang tidak ada lagi air,'' ungkap Dewi, warga Kampung Kramat. Kondisi di Kecamatan Cibungbulang setali tiga uang. Sejak tiga pekan belakangan, warga setempat khususnya di Kelurahan Ciaruteun Hilir dan Ciaruteun Udik mulai kesulitan air bersih. (DD/J-1). Post Date : 10 Agustus 2007 |