|
Predikat "kota terkotor" yang "disematkan" pada Kota Depok pada 25 September 2005 lalu, ternyata besar pengaruhnya. Betapa tidak, sebutan sebagai kota terkotor itu telah memacu sejumlah pejabat dan masyarakat Depok bekerja keras membersihkan wilayahnya dari serakan sampah. Sebutan kota kotor juga telah membuat Walikota Depok menciptakan serangkaian program kebersihan. Bahkan dari sebutan kota terkotor itu pula Walikota Depok memopulerkan program "Sipesat", singkatan dari "Sistem pengolahan dan pengelolaan sampah terpadu". "Melalui Sipesat itu, kami berharap Depok akan segera berubah menjadi kota bersih. Soalnya kami malu disebut tinggal di daerah kotor," ujar seorang pejabat Dinas Kebersihan dan Lingkungan Hidup Kota Depok. Instansi itu memang yang bertanggung jawab menangani masalah kebersihan di Depok. "Arah dari sistem kerja Sipesat adalah menciptakan kota Depok bebas dari tempat pembuangan akhir (TPA) dengan cara melakukan pengelolaan sampah di tingkat permukiman," kata Kepala Seksi Kebersihan Jalan dan Lingkungan Dinas Kebersihan dan Lingkungan Hidup (LH) Kota Depok, Komarudin Daiman. Dia mengatakan keberadaan TPA Cipayung di Kecamatan Pancoran Mas memang banyak dikeluhkan warga. Untuk itu, pihaknya akan memperkenalkan teknik baru dalam pengolahan, yaitu dengan memperbarui teknik lama yang memisahkan sampah organik dan sampah anorganik. "Sampah organik itu nanti akan diolah menjadi kompos di tingkat rumah tangga," katanya. Sedangkan sampah anorganik akan diolah menjadi produk daur ulang yang bernilai ekonomi. Rencananya, pada setiap 500-1.000 rumah akan dibuat tempat pengolahan seluas 500-1.000 meter persegi, yang cukup untuk mengolah sampah hingga 50 ton per hari. Untuk tahap awal, Dinas Kebersihan dan LH kini sedang memperkenalkan program tersebut di Kecamatan Cimanggis. Selanjutnya di Kecamatan Beji dan di pasar-pasar tradisional. Saat ini tengah dikembangkan pengelolaan sampah di tiga tingkat; yaitu TPA, kawasan permukiman, dan rumah tangga. Di tingkat TPA, Dinas Kebersihan dan LH memprogramkan pengelolaan sampah menjadi biogas atau bahan bakar alternatif. "Selain itu kami juga memberdayakan masyakarat sekitar untuk fungsi pemantauan," kata Komarudin Daiman. Dinas Kebersihan dan LH Kota Depok juga telah bekerja sama dengan lembaga swadaya masyarakat (LSM) di sekitar TPA yang bernama Forum Masyarakat Peduli untuk mengelola sampah. Menurut Komarudin, untuk pengelolaan sampah di Kota Depok kini juga ada penambahan operasional truk sampah dengan jumlah tenaga kebersihan sekitar 400 orang. "Saat ini armada truk ada 49 unit," katanya. Jumlah petugas "pesapon" (penyapu jalanan) sebanyak 167 yang tersebar di seluruh kecamatan. Ia mengatakan, masing-masing truk mampu mengangkut sekitar 8-10 meter kubik sampah yang dikirim ke TPA Cipayung. Volume sampah di Kota Depok sekitar 3.000-3.200 meter kubik per hari. Tapi, yang terangkut baru 41 persen atau 1.320 meter kubik per hari. "Sebanyak 59 persen sisanya adalah tanggung jawab masyarakat Kota Depok," kata Komarudin, yang juga menytakan citra Depok yang terpuruk karena sampah belakangan ini bukan hanya tanggung jawab pemerintah semata, tapi juga masyarakat. Sebelumnya, Wali Kota Depok Nur Mahmudi Ismail menginginkan predikat kota terkotor sebagaimana disebutkan dalam hasil penilaian Kementerian Lingkungan Hidup beberapa waktu lalu bisa terhapus dalam waktu dekat. Nur Mahmudi mengaku sudah minta kepada para camat dan lurah untuk bertanggung jawab atas kebersihan wilayah masing-masing. (Tarwono/Fadly) Post Date : 22 Agustus 2006 |