|
Jakarta, Kompas - Bencana alam dahsyat yang terjadi di Nanggroe Aceh Darussalam dan Sumatera Utara menimbulkan kecemasan tersendiri bagi warga Jakarta. Pasalnya, ibu kota negara berpenduduk 11 juta jiwa ini hampir setiap tahun dilanda genangan cukup tinggi. Jika masalah lingkungan tidak ditangani dengan baik, banjir di Jakarta bisa menjadi bencana alam yang menimbulkan banyak korban jiwa seperti di Aceh. Beberapa warga Jakarta yang ditemui, Kamis (30/12), mengungkapkan kecemasannya jika banjir besar melanda Jakarta. Badan Meteorologi dan Geofisika meramalkan puncak curah hujan akan terjadi antara awal hingga akhir bulan Januari 2005. Wardiyono, warga Tanjung Duren, mengaku tidak siap setiap kali datang banjir. Menurut Wardiyono, pemerintah hanya bisa mengevakuasi warga setiap kali terjadi banjir. "Seharusnya pemerintah mencegah supaya banjir tidak semakin meluas. Jangan hanya mengungsikan warga. Kalau tiba-tiba banjirnya besar seperti di Aceh gimana?" tanya Wardiyono. Hal sama diungkapkan Dwi Suryanto, warga Cipinang. Menurut Dwi, semua pemerintah daerah, termasuk Jakarta, harus mulai melakukan upaya-upaya perbaikan lingkungan untuk mencegah terjadinya bencana alam. Menurut Dwi, rehabilitasi sungai sebagai saluran pembuangan air ke laut harus benar-benar dilakukan. Sementara itu, daerah resapan air juga harus mulai dibenahi. "Jangan hanya nyiapin perahu karet atau makanan saja," cetus Dwi. Tetapi tampaknya harapan warga tinggal harapan belaka. Perbaikan lingkungan di Jakarta seperti hal yang nihil dilakukan. Sementara Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso berulang kali mengulangi pernyataannya agar warga waspada terhadap banjir di musim hujan. Kepada warga, gubernur meminta agar warga terus memantau informasi seputar cuaca dan antisipasi banjir melalui radio dan televisi. Karena setiap ada perubahan cuaca, informasi itu akan dilaporkan lewat radio dan televisi. "Warga juga harus segera melakukan tindakan pengungsian jika keadaan sudah dalam tahap darurat," ujar Sutiyoso. Ia mengatakan, Jakarta tidak akan pernah bebas dari banjir. Akan tetapi, upaya yang dilakukan adalah mengurangi banjir. "Selama Banjir Kanal Timur belum selesai, banjir di Jakarta tidak akan berkurang," papar Sutiyoso. Sementara itu Wakil Wali Kota Jakarta Utara Syafruddin Putra mengatakan, seluruh camat dan lurah diwajibkan menyiagakan posko banjir selama 24 jam. Selain itu, para camat dan lurah harus terus memantau beberapa pintu air yang bersinggungan dengan wilayahnya. "Para camat dan lurah harus tetap menyiagakan posko banjir selama 24 jam di wilayahnya," ujar Syafruddin. Wilayah di Jakarta yang paling sering dilanda banjir adalah di Jakarta Barat karena di wilayah itu terdapat pertemuan tiga sungai besar, yaitu Kali Mookevart, Kali Angke, dan Kali Pesanggrahan. Sebagian besar di wilayah Jakarta Barat sering kali terendam banjir hingga ketinggian dua meter. Jakarta Pusat juga sering terkena banjir parah karena daerah tersebut merupakan tumpuan 13 sungai besar yang datang dari arah selatan dan timur. Selain itu, banjir di Jakarta Pusat juga sering diakibatkan oleh luapan air laut dari arah utara. Sebagian wilayah Jakarta Pusat sekitar 40 persen permukaan tanahnya merupakan daerah pasang surut. Sementara, 40 persen atau sekitar 32 dari 78 daerah rawan banjir di Jakarta saat ini sudah berada dalam kategori daerah genangan. Artinya, daerah tersebut sulit terbebas dari genangan karena letaknya lebih rendah dari permukaan air. (IND/PIN) Post Date : 31 Desember 2004 |