|
BLITAR (Media): Banjir bandang yang menewaskan 12 warga Blitar, Jawa Timur, Jumat (3/12), menyisakan trauma mendalam, terutama bagi warga di dua kecamatan di Blitar Selatan, yaitu Kecamatan Kademangan dan Sutojayan. Mereka merasa ketakutan bila hujan turun. Dalam satu pekan terakhir, hujan hampir setiap hari turun di daerah ini kendati intensitasnya tergolong rendah. Sejumlah warga yang ditemui Media di Desa Kedung Bunder, Kecamatan Sutojayan, kemarin, mengatakan, bila hujan mulai turun, warga bersiap-siap menjaga kemungkinan terjadi banjir lagi. "Kami biasanya berusaha tidak tidur dan berjaga-jaga di depan rumah," ungkap Suyono, 42, warga Kedung Bundar. Akibat lain, lanjut Sutinah, 45, penjual sayur di Pasar Sutojayan, warga tidak tenang bekerja akibat terus dibayangi rasa takut dan trauma. Menurut Suyono dan Sutinah, warga juga takut akan terjadi banjir susulan karena hingga kini pemerintah setempat belum melakukan aktivitas pengerukan Sungai Bogel, Sutoyajan yang merupakan satu-satunya sungai buangan air di kecamatan tersebut. Anggota DPRD Kabupaten Blitar, Ahmad Dardiri mengatakan dangkalnya sungai sepanjang 500 meter dengan lebar sekitar 10 meter itu menjadi sebab terjadinya banjir bandang. "Pemda beralasan kalau dana pengerukan tidak ada dan masih diajukan ke Pemprov Jawa Timur," ujar anggota Dewan yang berdomisili di Kecamatan Sutojayan itu. Dia menambahkan hal ini diperparah juga dengan semakin dangkalnya Daerah Aliran Sungai (DAS) Brantas yang juga memiliki dua bendungan pembangkit tenaga listrik yakni Bendungan Wlingi Raya dan Bendungan Lodoyo, yang merupakan pemasok listrik tenaga air untuk kawasan Jawa dan Bali. Di aliran sungai inilah menjadi muara Sungai Bogel dan sejumlah sungai kecil lainnya. Dari Kendari, Sulawesi Tenggara (Sultra), kemarin, dilaporkan Bendungan Welai di Desa Woworonda Jaya, Kecamatan Abuki, Kabupaten Konawe, jebol akibat tumpukan tanah longsor yang terjadi sejak satu tahun lalu. Akibat jebolnya Bendungan Welai itu ribuan hektare sawah di Kecamatan Abuki tidak dapat ditanami padi, karena bendungan tidak dapat menampung air sehingga air tidak mengalir ke sawah. Selain bendungan jebol, saluran sawah juga rusak sehingga tidak dapat mengaliri air ke masing-masing sawah milik petani. Menurut Syarifuddin, salah seorang petani yang tinggal di sekitar bendungan, kerusakan Bendungan Welai dan rusaknya saluran sudah terjadi sejak satu tahun lalu, namun pemerintah tidak pernah melakukan perbaikan. Saluran-saluran yang tertimbun tanah akibat longsor sering dikerjakan oleh petani, tetapi tidak mampu untuk menyelesaikan saluran yang tertimbun tanah longsor secara tuntas. Saat ini, seluruh irigasi di Kecamatan Abuki mengalami kekeringan akibat musim kemarau panjang. Petani masih terus menunggu turunnya hujan untuk menanami sawah-sawah mereka yang telah dikerjakan. Katanya yang dapat memperbaiki saluran dan bendungan ini hanya pemerintah melalui proyek irigasi, namun sampai saat ini Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Konawe tidak pernah memerhatikan bendungan Welai yang mengalami kerusakan semakin parah. Akibat tidak dapat ditanami padi, petani di Kecamatan Abuki harus membeli beras dari daerah lain dengan harga Rp130.000 per karung. Padahal, kalau sawah mereka bisa ditanami padi, petani tidak membeli beras dari daerah lain. (ES/HM/N-1) Post Date : 27 Desember 2004 |