Warga Berharap, Menangani Sampah tidak Cuma Sampai TPA

Sumber:Pikiran Rakyat - 22 Desember 2005
Kategori:Sampah Luar Jakarta
Jujun (45), penjual daging ayam di Pasar Soreang, warga Kp. Ciburial Desa Soreang, Kec. Soreang Kab. Bandung.

Kalau dulu mah buang sampah terakhir dari pasar teh ke Jelekong sekarang mah nggak tau ke mana. Pengelolaan sampah di sini bagus karena nggak ada penumpukan sampah membuangnya tiga kali sehari. Dikumpulkan terus dibawa sama mobil gede, ujarnya. Dengan membayar retribusi Rp 300,00 per hari per jongko, Jujun merasa puas dengan pelayanan Dinas Kebersihan. Ia belum tahu mengenai rencana kepindahan TPA Jelekong karena telah penuh oleh gunungan sampah. Di rumahnya, sampah diambil setiap Sabtu oleh Dinas Kebersihan Kab. Bandung.

Dudung (60), penjual nasi, warga Kp. Cipeer, Desa Cingcin Kec. Katapang, Kab. Bandung.

Untuk menangani masalah sampah, ia beserta warganya hanya mengumpulkan sampah di satu lahan kosong bekas sawah, kemudian membakarnya. Sebelumnya, sampah itu dipisah antara sampah organik dan anorganik. Sampah anorganik terutama dari bahan plastik, biasanya dipunguti oleh para pemulung yang kerap datang. Letak kampungnya bersebelahan dengan Kompleks Gading Tutuka, Kec. Soreang. Meski begitu, warga di kompleks menggunakan pelayanan dari Dinas Kebersihan untuk menangani masalah sampah. Kalau perumahan, udah ada pengelolaannya dari dinas, katanya. Kadang-kadang, sampah dari kampungnya juga dimasukkan ke kontainer sampah milik Dinas Kebersihan yang disimpan di Jln. Gading Tutuka. Dudung merasa cukup dengan satu kontainer sampah karena warga banyak yang membakar sampah sendiri.

Iwan Sudjana (52), warga Kp. Cipongporang Desa Katapang Kec. Katapang merangkap sebagai anggota Badan Perwakilan Desa Katapang.

Dulu, di kampungnya dibuat tiga lobang besar yang disebut lombang. Lumbang kesatu untuk sampah beling, kedua untuk sampah organik, dan ketiga untuk sampah anorganik. Namun, tradisi itu kini telah pudar. Menurut Iwan, hal itu karena tidak ada aparat RT, RW, dan pemerintah desa setempat yang menggerakkan masyarakat untuk membuang sampah pada satu tempat. Akibatnya, sekarang suka banyak tumpukan sampah di pinggir jalan-jalan desa, tuturnya. Di desanya, tidak ada pengelolaan sampah oleh pemkab melalui Dinas Kebersihan. Pernah, dulu ada tagihan iuran sampah yang dipungut ketika warga membayar iuran listrik di kantor KUD. Tapi, kenyataannya, sampah yang diurus hanya sampah yang ada di sepanjang jalan provinsi ke kampung-kampung di desa tidak ada, ucapnya.

Ali Mustapa, karyawan swasta.

Sampah di tempat pembuangan sementara (TPS) banyak yang tidak terurus. Contohnya di Ujungberung, di Jln. AH. Nasution, Taman Sari, Tegallega , dan Cicadas, sampah berserakan. Saya baca di media massa, bahwa 11 hari lagi TPA Jelekong sudah habis masa berlakunya. Tapi, pemkot sampai hari ini belum mendapat surat resmi dari pemkab. Kalau pemkot benar-benar serius mengenai sampah, kenapa tidak jauh-jauh hari diurus? Itu harus dipertanyakan. Apakah mau kejadian seperti Leuwigajah terulang kembali? Tidak kapok? Coba pemkot dan wali kota datang untuk menyurvei langsung bagaimana sampah tersebut ditangani.

Endah Nurlianti, pedagang jam di Pasar Andir.

Sampah memang susah, di penampungan tidak bisa diolah. Kalau dulu sih, dibakar. Seharusnya pihak pemkot memberdayakan mahasiswa yang belajar mengenai cara penanganan sampah atau cara mengolah sampah. Di Andir sendiri, sampah kadang-kadang dua minggu tidak diangkat. Apalagi kalau alat pengangkutnya rusak, pasti bisa berminggu-minggu tidak diangkut. Disiplin masyarakat juga kurang. Masih ada yang membuang sampah di kali dan selokan. Saya dengar, di media bahwa nanti akan ada peraturan tentang ketertiban. Tapi tetap saja masyarakatnya bandel.Intinya memang seharusnya pihak kebersihan dan masyarakat disiplin. Sehingga nantinya tidak ada kekecewaan sampah tidak terambil atau kita (pedagang) yang tidak mau membayar retribusi sampah karena tidak bersih mengangkutnya.

Kurnia, mahasiswa.

Sampah masih menumpuk di sudut-sudut jalan Kota Bandung. Kayak nggak pernah diangkut. Parahnya lagi, timbunan sampah ada yang berada dekat dengan rumah makan sehingga bau dan lalatnya bisa mengganggu kenyamanan. Misalnya di Unpad, kalau ada angin bertiup, pasti bau sampah akan menghampiri hidung setiap orang yang lewat. Kalau lama-lama begini, apa betah?

Eni Anggraeni (41), ibu rumah tangga.

Urusan sampah susah banget diatasin. Sekarang, sampah numpuk di mana-mana. Upaya dari pemerintah untuk pengelolaan sampah juga belum maksimal. Mungkin kemampuan pemerintah terbatas, tapi jangan dijadiin alasan. Ibu-ibu kan, kalau sampah di rumah nggak cepet-cepet diangkut suka ngomel karena merasa udah bayar. Padahal, kesadaran masyarakatnya juga kurang. Seharusnya kita juga bisa mengelola sampah sendiri di rumah. Atau membantu petugas dengan membuang sampah pada tempatnya. Ya, partisipasi aktiflah.

Drs. Djoko Santoso, M.M., Kepala Sekolah Menengah Kejuruan Negeri 1 Cimahi.

Kita prihatin akan keadaan kota yang menjadi kotor karena sampah menumpuk. Kita seperti dibuat tidak berdaya oleh sampah. Sepertinya pemerintah tidak sungguh-sungguh dalam membereskan sampah. Ketika pemerintah berada dalam keadaan tidak mampu mengelola sampah, kenapa tidak melibatkan pihak swasta? Banyak komponen masyarakat yang mau berperan aktif, tetapi belum dirangkul oleh pemerintah. Sampah adalah tanggung jawab bersama. Seharusnya pemerintah membuat jalur koordinasi lintas sektor dalam pengelolan sampah. Sinergi dan koordinasi. Dua kata yang mudah diucapkan, tapi pelaksanaannya sulit ditegakkan. Bertahun-tahun sampah dibuang ke TPA Leuwigajah dengan sistem open dumping. Itu cara yang salah. Di masa teknologi tinggi seperti sekarang, seharusnya pengelolaan sampah juga ikut maju. Contohnya, kita bisa menggunakan sanitary landfield.

Nani Meilani (21), mahasiswa.

Pengelolaan sampah oleh pemerintah itu minim. Tidak ada satu pun TPA sampah di Indonesia, khususnya di Jawa Barat, yang mengikuti prosedur operasional yang telah ditentukan. Hampir semua TPA yang ada sekarang, hanya menggunakan metode open dumping (ditumpuk begitu saja tanpa ada pengolahan). Hal ini saya ketahui dari peneliti Pusat Penelitian dan Pengembangan Permukiman Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Pekerjaan Umum, Ir. Nurhasanah, M.M., di Balitbang Dep. PU, belum lama ini. Informasi yang saya dapat dari peneliti itu adalah bahwa kita dapat terapkan konsep 3 R untuk sampah rumah tangga yaitu reduce (pengurangan), reuse (penggunaan kembali), dan recycle (daur ulang). Jika konsep ini dapat berjalan, baik terutama di rumah tangga, sampah bukan hal yang sulit untuk diatasi. (CW-1/CW-11/CW-10)

Post Date : 22 Desember 2005