|
Seperti halnya pusat peradaban lain yang mengandalkan sungai sebagai sumber kehidupan, penduduk di sekitar Ciliwung pun demikian pula. Sungai telah mengundang mereka untuk tinggal dan menetap di tepiannya. Sayang, pemanfaatan itu tidak dibarengi dengan upaya pelestarian lingkungan yang menguntungkan bagi keberlangsungan sungai. Selain karena alasan sosial ekonomi, jumlah penduduk di bantaran sungai juga bertambah dari waktu ke waktu. Seiring dengan perubahan itu, semakin banyak pula aktivitas merugikan yang diakibatkannya. Kerusakan lingkungan yang ditandai dengan punahnya biota sungai, pencemaran air akibat limbah industri, dan buruknya sanitasi lingkungan kini tengah dialami oleh Ciliwung. Sungai sepanjang lebih kurang 100 kilometer yang sedianya merupakan berkah perlahan menjadi musibah. Curah hujan yang semakin tinggi, berkurangnya areal resapan, dan kondisi drainase kota yang tidak berfungsi merupakan beberapa alasan makin seringnya terjadi banjir. Perilaku manusia menjadi kata kuncinya. Dimanfaatkannya bantaran sungai sebagai permukiman, perkantoran, maupun industri tidak hanya mempersempit aliran sungai dari hulu ke hilir, tetapi juga sekaligus mengotorinya. Sebagai penduduk yang notabene berhadapan langsung dengan sungai, warga bantaran Ciliwung tergolong tidak mengindahkan kebersihan lingkungan. Bagi mereka Ciliwung adalah tempat sampah termudah dan termurah. Selama ini sisa-sisa aktivitas rumah tangga berupa plastik, kertas, dan kaleng, misalnya, langsung dilempar ke sungai. Berdasarkan hasil survei Kompas di lapangan, satu dari dua warga bantaran Ciliwung di bagian tengah dan hilir melakukan hal tersebut. Berbeda halnya dengan yang tinggal di hulu. Karena masih memiliki lahan, mayoritas penduduk hulu (75 persen) menimbun, membakar, atau mengumpulkan sampah untuk kemudian diangkut petugas kebersihan. Sungai bagi penduduk bantaran Ciliwung, selain berfungsi sebagai tong sampah terbesar, juga berfungsi sebagai kakus terpanjang. Di tepian Ciliwung sering kali tampak parade buang hajat pada jam-jam tertentu. Ada yang menggunakan bilik-bilik bambu, ada pula yang tanpa segan-segan nongkrong di pinggir sungai. Sebenarnya, tak sedikit di antara warga yang sebenarnya memiliki WC pribadi atau paling tidak menggunakan fasilitas peturasan umum yang ada. Namun, dalam hal penampungan kotoran, mereka rata-rata langsung mengalirkannya ke sungai. Tak ada perbedaan yang signifikan antara mereka yang tinggal di hulu, di tengah, dan di hilir. Alasan praktis dan ekonomis lagi-lagi menjadi latar belakangnya. Uniknya, selain memperlakukan sungai sebagai tempat pembuangan limbah dan kotoran, tidak sedikit warga yang masih punya toleransi tinggi terhadap air Ciliwung. Mandi, mencuci pakaian, bahkan mencuci peralatan makan dan memasak terkadang dilakukan di sungai. ”Kalau lagi bening gini, ya bisalah untuk cuci baju atau piring,” kata Muslihah, warga di Kelurahan Kwitang, Kecamatan Senen, Jakarta Pusat, sambil menunjukkan air sungai yang tampak kecoklatan. BOD dan COD Bagaimanapun juga kualitas air Ciliwung sangat jauh dari higienis. Selain kotor oleh limbah rumah tangga, limbah industri dan pertanian juga menambah pencemaran sungai. Berdasarkan penelitian Kementerian Negara Lingkungan Hidup tahun 2007, sumber pencemaran baik di hulu maupun di hilir mayoritas berasal dari permukiman. Hal itu ditunjukkan dari tingginya kadar biological oxygen demand (BOD) di masing-masing lokasi, yaitu 39 persen dan 85 persen. Kadar BOD menunjukkan kebutuhan oksigen oleh bakteri dan mikroba untuk menetralisir bahan organik kira-kira sebesar 0,8 ppm. Artinya, makin tinggi tingkat BOD, makin tercemar kondisi air sungai tersebut. Berbeda dengan di hulu dan di hilir, bagian tengah Ciliwung yang melalui Kota dan Kabupaten Bogor serta Kota Depok lebih banyak dikotori limbah industri. Kebutuhan oksigen oleh bakteri dan mikroba untuk menetralisir bahan kimia di wilayah ini tergolong sangat tinggi. Indikator yang ditunjukkan melalui chemical oxygen demand (COD) itu mencapai 85-95 persen. Mengembalikan Ciliwung seperti sediakala butuh kerja keras. Aturan tegas oleh pemerintah tidak hanya diperlukan untuk mengatur penduduk bantaran sungai, tetapi juga terhadap industri dalam mengelola limbah. Tata guna lahan sesuai dengan peruntukannya pun perlu ditinjau kembali. Selain terkait dengan permukiman di pinggir kali, bagaimanapun juga tidak mudah bagi mereka untuk pindah dari lokasi tersebut. Selain minimnya dana, kedekatan dengan tempat kerja menjadi alasan utama. Hal ini dikemukakan oleh sekitar 46 persen penduduk, baik di hulu, tengah, maupun hilir. Rencana pemerintah merelokasi tempat tinggal penduduk bantaran sungai ke lokasi lain dengan tidak mempertimbangkan latar belakang ekonomi dan tempat kerja akan mengalami kegagalan. Rumah susun Bidara Cina di Jatinegara, Jakarta Timur, adalah salah satu bentuk kegagalan pemerintah dalam merelokasi penduduk yang tergusur dari Ciliwung. Rusun yang dibangun tahun 1995 itu tidak mampu menarik minat penduduk. Tarif listrik dan air, misalnya, dianggap memberatkan warga. Luas bangunan 2 x 6 meter dirasa lebih sempit dibandingkan dengan rumah mereka di pinggir sungai yang bisa mencapai 90 meter persegi. Lantaran tak diminati, kini rusun itu mayoritas tidak sesuai dengan peruntukannya. Sebagian besar justru dimiliki atau dihuni oleh kalangan menengah ke atas. Dalam menertibkan permukiman di bantaran sungai, pemerintah pun tidak bertindak tegas, di satu sisi mengimbau penduduk untuk pindah, tetapi di sisi lain melegalisasi status kependudukan warga. Hasil survei Kompas menunjukkan, hampir 90 persen responden, baik di hulu, tengah, maupun hilir memiliki kartu tanda penduduk. Itu dikeluarkan resmi oleh pemerintah setempat, baik di Kota/ Kabupaten Bogor, Kota Depok, maupun DKI Jakarta. Bentuk lain dari legalitas itu tampak juga dari sumber penerangan yang ada selama ini. Tak kurang dari 80 persen rumah tangga yang tercakup dalam penelitian ini memiliki meteran listrik sendiri. Menata ulang Ciliwung tanpa mencari kambing hitam adalah solusi terbaik. Butuh kerja cerdas untuk mengembalikan Ciliwung menjadi sumber berkah, bukan sumber musibah. (NILA KIRANA/ Litbang Kompas) Post Date : 30 Januari 2009 |