|
KESULITAN mendapatkan air yang layak dikonsumsi tidak hanya dialami saat musim kemarau tiba, tetapi sudah menjadi rutinitas sebagian besar warga yang tinggal di kawasan utara Kabupaten Bekasi. Sebagian masyarakat yang masih hidup di bawah garis kemiskinan itu tidak mampu membuat sumur yang dalam untuk bisa mendapatkan air tawar. Akibatnya, mereka terpaksa membeli air minum dari pedagang keliling atau terpaksa berjalan jauh ke desa lain yang sudah memiliki sumur yang kedalamannya lebih dari 100 meter setiap hari. Tokoh masyarakat Bekasi, Muhammad Dahlan, Minggu (24/10), menyayangkan sikap Pemerintah Kabupaten Bekasi yang tidak pernah memiliki perhatian serius untuk mengatasi kemiskinan yang masih memprihatinkan di wilayah utara Kabupaten Bekasi. Berpuluh tahun hingga sekarang warga Babelan, Tarumajaya, Muara Gembong, Sukawangi, atau Cabangbungin masih saja mengalami kesulitan untuk bisa mendapatkan air tawar. Karena kemiskinan, banyak warga yang terpaksa menggunakan air asin untuk kebutuhan hidup sehari-hari. "Air, bagi banyak warga utara bisa jadi barang mewah. Mereka harus mengeluarkan uang untuk bisa minum air tawar, padahal kebanyakan warga di sana miskin. Tetapi pembuatan sumur di titik-titik yang langka air tidak pernah masuk dalam program khusus Pemkab Bekasi," kata Dahlan yang sering mengunjungi kantong-kantong kemiskinan di wilayah utara. Kelangkaan sumur di wilayah utara ini dikarenakan ketidakmampuan warga untuk membiayai pembuatan sumur. Sebab, air sumur di wilayah yang dekat dengan laut ini berasa asin jika kedalamannya di bawah 100 meter. Dahlan sendiri sudah berhasil membuat 23 sumur di beberapa lokasi, tetapi jumlah itu jauh dari memadai. Di setiap titik sumur, antrean warga yang mengambil air sering kali terlihat. Meski sudah sangat dalam, air sumur tetap tidak jernih, tetapi berwarna kekuningan atau kecoklatan. Sumur-sumur di utara itu hanya sehat untuk mandi dan mencuci. Untuk memasak, warga terpaksa membeli air dari pedagang keliling seharga Rp 1.500 untuk dua jeriken air atau sebanyak 40 liter. Ada juga warga nekat mengambil air sumur untuk memasak. Namun, mereka segera menghentikannya setelah merasakan sakit perut. "Air yang dijual pedagang keliling diambil dari desa lain, yang tidak asin. Air itu dijajakan ke beberapa kampung. Kalau musim hujan, pedagang air tidak bisa sampai ke sini karena kampung kebanjiran sampai selutut," tutur Amih (30), warga Kampung Utan Kramat, Desa Jayabakti. Untuk menghemat pengeluaran ada juga warga yang mencari sendiri air tawar ke desa lain. Untuk mengambil air dari Kampung Utan Soga di Desa Sindangjaya saja, warga harus berjalan kaki empat jam. Terkadang dengan sangat terpaksa, air irigasi pun harus dibeli demi memenuhi kebutuhan air tawar. (ELN) Post Date : 27 Oktober 2004 |