Warga Bandung Malas Kelola Sendiri

Sumber:Kompas - 22 November 2010
Kategori:Sampah Luar Jakarta

Persoalan sampah di Kota Bandung seperti tiada habisnya. Setelah peristiwa sampah longsor di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Leuwigajah, Cimahi, lima tahun lalu, kini sampah Bandung terancam kembali luber jika tidak segera ada solusi pengelolaan sampah terpadu.

Pemerhati lingkungan yang juga anggota Dewan Pakar dari Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda, Sobirin, mengingatkan, persoalan sampah juga terkait budaya warga yang masih malas mengelola sampah secara mandiri.

Ssehari rata-rata 190-200 truk dari Bandung mengantarkan sampah ke TPA Sarimukti. Sobirin memperkirakan, sampah yang dihasilkan Bandung mencapai 2.000 ton dan bisa menutupi 50 lapangan sepak bola. ”Sekitar 90 persen warga belum bisa mengelola sampahnya sendiri,” ujar Sobirin yang memiliki composter aerob dan anaerob di halaman rumahnya yang asri di Jalan Alfa 92, Bandung.

”Bagi warga yang tinggal di lokasi padat penduduk dan tidak cukup lahan untuk membangun composter, mereka sebenarnya bisa memulai mengelola sampah dengan memisahkan sampah organik dan anorganik,” katanya.

Dijadikan kerajinan

Sampah anorganik, seperti plastik, juga bisa dijadikan berbagai kerajinan yang bernilai ekonomi. Djuariah Djadjang (50), warga RW 20 Kelurahan Tamansari, Kecamatan Bandung Wetan, adalah contohnya. Sejak tahun 2007 ia mengolah sampah plastik menjadi aneka produk, dari tas, sajadah, tempat pensil, dompet telepon seluler, celemek, tempat sepatu, hingga tempat jas dan payung.

Sampah plastik itu berasal dari kemasan mi instan, kopi, makanan ringan, sabun, atau minyak goreng. Harga produk Djuariah bervariasi, Rp 10.000-Rp 150.000, tergantung dari jenis barang dan tingkat kesulitan pembuatannya. Tempat pensil dihargai Rp 10.000, sedangkan sajadah yang pembuatannya memerlukan waktu tiga minggu dijual Rp 100.000-Rp 150.000.

Produk daur ulang Djuariah dipasarkan melalui pameran atau pesanan langsung dari konsumen. ”Rata-rata setiap kader membawa pulang keuntungan Rp 100.000-Rp 200.000 sekali pameran,” katanya.

Meski demikian, sampah anorganik, bagaimanapun, harus dikurangi. Pegiat Wahana Lingkungan Hidup Indonesia, Dedi Kurniawan, mengatakan, hal itu bisa dilakukan dari hal-hal kecil, misalnya warga membawa tas saat berbelanja sehingga tidak perlu membawa pulang plastik atau mengurangi konsumsi makanan berkaleng. Budaya tidak nyampah itu, menurut dia, bisa dipupuk pemerintah dan elemen masyarakat.

”Jika perlu, pemerintah menetapkan kuota volume sampah dari setiap rumah tangga. Biaya mahal dibebankan kepada warga yang sampahnya melebihi kuota itu,” ujarnya. (Rini Kustiasih)



Post Date : 22 November 2010