|
Memasuki pertengahan bulan Juli, ribuan penduduk Kabupaten Demak, Jawa Tengah, yang tersebar di 116 desa dan 13 kecamatan mulai terancam kekurangan air bersih. Hingga Rabu (7/7), pemerintah kabupaten setempat masih melakukan droping air bersih gratis melalui enam mobil tangki air masing- masing berkapasitas 5.000 liter. Hal itu diungkapkan Kepala Bagian Kesejahteraan Rakyat Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Demak Taufik, yang didampingi pejabat sementara Kepala Bagian Informasi dan Komunikasi (Inkom) Endah Cahya Rini kemarin. Menurut Taufik, pemberian air bersih gratis yang didrop langsung dari sumber air milik Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Pemkab Demak akan ditambah lagi satu mobil tangki air pada puncak kekeringan yang diperkirakan berlangsung Agustus-September. Menurut Taufik, sebenarnya Pemkab Demak juga membantu pembangunan sumur-sumur artetis (sumur dalam) di berbagai lokasi. Namun, sebagian besar gagal dilaksanakan karena tidak ditemukan sumber airnya. Menurut pengamatan Kompas, kekurangan air bersih dan kekeringan juga mulai mengancam wilayah Pati selatan, sebagian besar wilayah Kabupaten Rembang, sebagian wilayah Kabupaten Blora, dan sebagian wilayah di Jepara dan Kudus. Krisis air di Merapi Krisis air bersih juga dilaporkan mengancam kehidupan warga sekitar Gunung Merapi (Jateng). Ini sebagai dampak kerusakan lingkungan akibat eksploitasi sumber alam kawasan Gunung Merapi, melalui penambangan besar-besaran pasir yang menggunakan alat berat eskavator dan backhoe. Hal itu disampaikan warga perwakilan masyarakat lereng Gunung Merapi ketika melakukan aksi Gerakan Masyarakat Cinta Air Merapi di Kantor DPRD Kabupaten Magelang, Rabu. Aksi yang diikuti 20 warga, didampingi Romo V Kirjito, sempat mengadakan dialog dengan anggota Komisi B DPRD ataupun Bupati Magelang di Mungkid, Magelang. Warga Desa Sumber, Sukahar, mengungkapkan, masyarakat di kawasan lereng Gunung Merapi, seperti Desa Mangunsuko, Gejiwan, Tutup Ngisor, Tutup Nduwur, Garung dan Banggalan, sudah sangat resah oleh kegiatan eksploitasi penambangan pasir yang tanpa kendali. Penambangan pasir menggunakan alat-alat berat mulai menampakkan dampak kerusakan lingkungan. "Faktor keuntungan dari bisnis pasir tidak sebanding dengan kerusakan lingkungan yang mulai ditimbulkan di kawasan lereng Merapi. Diakui, masyarakat tidak merasakan hasil penambangan, tetapi justru kini terancam akibat bahaya kerusakan lingkungan, termasuk krisis air," ujar Parjoto. Sementara itu, para petani di Desa Bulok, Kecamatan Gading Rejo, Kebupaten Tanggamus, Lampung, juga mulai mengeluhkan kurangnya pasokan air. Padahal, saat ini padi yang ditanam petani di kawasan itu memasuki umur tiga pekan hingga satu bulan. Untuk menjaga agar tanaman mereka tidak mati, para petani mulai menggunakan mesin pompa air. "Saya malah sudah membuat sumur bor. Kalau tidak begitu, tanaman ini bisa mati," tutur Sudar, petani Desa Bulok, Tanggamus. (sup/who/jos) Post Date : 08 Juli 2004 |