|
Masuk ke sejumlah toilet umum seperti mengalami mimpi buruk. Toilet di beberapa terminal bus dan sejumlah gedung pemerintah sama kotornya. Inikah wajah kita? Wangi dan gagah di depan, jorok dan berbau di belakang. Aroma pesing tercium 2 meter menjelang pintu masuk toilet. Aroma itu seperti prolog dari kisah horor yang bakal kita temui kemudian. Benar saja, toilet itu teramat kotor, air tak mengalir sempurna. Yang ”sempurna” justru bau pesingnya! Itu bukan toilet umum, melainkan toilet di lantai dasar pengadilan tindak pidana korupsi (tipikor)—lembaga berwibawa tempat orang mencari keadilan. Seorang petugas keamanan yang tahu tamu tipikor tak berselera dengan toilet tersebut menunjukkan toilet lain di lantai satu. Kata dia, kondisinya lumayan. Astaga! Ternyata kondisinya lebih ”horor”. Ruang toilet untuk laki-laki dan perempuan sama- sama tak berpintu. Lantai dan klosetnya becek, saluran airnya penuh dengan tisu bekas, dan semprotan air (hand shower) untuk berbasuh telah rusak. Tamu itu pun memilih mengurungkan niat untuk buang air kecil dan pergi sambil menutup hidung. Wartawan kantor berita Jepang Kyodo, Woro (37), yang sering meliput sidang korupsi di sana pun tak sudi menggunakan toilet tersebut. ”Lebih baik saya menahan pipis daripada masuk ke toilet itu.” Di Gelora Bung Karno yang megah dan menjadi simbol kebesaran bangsa Indonesia, toiletnya setali tiga uang. Masuklah ke toilet pria di bawah Pintu 7 atau 9, tak satu pun dari lima urinoar di sana yang dialiri air. Kalau ingin berbilas, Anda harus beringsut untuk mengambil air di tong plastik. Toilet di pintu lain sama jeleknya. ”Bagaimana mau bersih, Pak, air tidak mengalir setiap hari,” ujar penjaga toilet di Pintu 7. Sore itu dia baru saja membersihkan toilet di Pintu 7, tetapi dia tidak kuasa menghilangkan bau pesingnya. Perilaku pengguna Toilet di kantor Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri yang biasa digunakan petugas, pengacara, terperiksa, ataupun keluarga tahanan agak mendingan. Petugas kebersihan siaga mengepel jejak kotor di lantai yang ditinggalkan pengunjung. Yang jadi soal justru perilaku penggunanya. Seorang perempuan pegawai Bareskrim, misalnya, melenggang begitu saja seusai membuang hajat. Dia tidak menekan tombol keran air untuk menggelontor kotorannya. Sang petugas jaga toilet ketiban sial harus membersihkan kotoran pegawai Bareskrim itu. ”Enggak lelaki, enggak perempuan sama saja perilakunya. Buang hajat lalu ngeloyor begitu saja,” gerutunya. Adab bertoilet kita memang masih memalukan. Baik kelas bawah maupun kelas atas sama buruknya. Mari kita mampir ke sebuah acara peragaan busana di hotel bintang lima di Jakarta. Para sosialita yang wangi dan menenteng tas mahal enak saja mengantre tepat di depan pintu toilet yang sedang digunakan. Mereka tak peduli orang yang sudah mengantre di ujung pintu. Pengunjung mal mewah juga seolah merasa tak berdosa mengotori toilet. Mereka kerap membuang tisu hingga pembalut ke dalam lubang WC sehingga WC mampat. Padahal, jelas-jelas terpampang tulisan besar ”Dilarang membuang tisu dan pembalut ke lubang WC”! Kalau sudah begitu, penjaga toilet yang kena getahnya. Keberadaban Begitulah, toilet dan tabiat adab bertoilet kita menunjukkan level keberadaban, tanggung jawab pribadi, dan toleransi kita. Gerakan Toilet Higienis pernah mengadakan survei dengan pertanyaan ”Siapakah yang harus membersihkan toilet umum yang telah kita pakai?”. Hampir semua responden menjawab, ”Petugas kebersihan!” Mengapa bisa begini? Ketua Asosiasi Toilet Indonesia Naning Adiwoso menduga, rendahnya tanggung jawab dan toleransi pengguna toilet umum ada kaitannya dengan kebiasaan masa lalu masyarakat kita yang membuang hajat di kebun atau kali. Cara buang hajat semacam ini tidak menuntut tanggung jawab untuk membersihkannya. Cukup plung... plung, selamat tinggal, nanti alam yang menghanyutkan. ”Kesadaran tak perlu bertanggung jawab selepas buang hajat terbawa hingga sekarang,” ujar Naning. Kalau itu benar terjadi, sungguh mengherankan. Pasalnya, kata Ida Bagus Gde Pujaastawa, dosen Antropologi Universitas Udayana, kebiasaan buang hajat di alam telah selesai satu-dua generasi yang lalu. Dia menduga ada faktor lain, yakni cara pandang masyarakat kita tentang pembagian ruang. ”Masyarakat kita mengenal klasifikasi ruang berdasarkan tingkat kesucian. Nah, toilet itu dianggap wilayah paling tak suci atau kotor,” ujarnya. Orang biasanya menempatkan toilet di bagian belakang rumah atau sudut yang tersembunyi. Karena itu, toilet dianggap tidak penting sehingga berperilaku jorok di dalamnya dianggap tidak masalah. Astawa mengatakan, orang lebih fokus memoles bagian yang dianggap penting dan terdepan. Pokoknya, cantik di depan, tidak masalah jorok di belakang. Bagi masyarakat yang tidak mengenal klasifikasi ruang berdasarkan tingkat kesucian, lanjut Astawa, toilet sama saja dengan ruangan lain, sama-sama bersih dan sehat. Toilet dibicarakan dan diteliti secara serius, terutama soal kebersihan dan kesehatannya. Dari situ lahirlah generasi toilet cerdas. Ada toilet yang dirancang tanpa kontak tangan, toilet dengan sinar inframerah, hingga toilet multimedia yang memungkinkan orang buang hajat sambil menonton televisi, mendengarkan musik, atau berselancar di dunia maya. Bagaimana perilaku bertoilet Anda? Semoga bukan termasuk barisan kaum wangi, manis, dan gagah di depan, tetapi jorok di belakang. (IYA/DAY) Post Date : 25 Maret 2012 |