Wajah Banjir Kanal di Kota Semarang

Sumber:Kompas - 13 Maret 2007
Kategori:Banjir di Luar Jakarta
Membayangkan banjir kanal yang indah di Kota Semarang dengan arus air yang tenang hanya akan menuai kekecewaan. Banjir kanal yang sudah berumur lebih dari seabad ini ibarat sebuah pembuluh arteri yang sudah dipenuhi dengan timbunan lemak dan kolesterol. Jika tidak segera mendapatkan perawatan yang tepat, pembuluh itu akan pecah dan berakibat fatal.

Banjir Kanal Barat (BKB) merupakan penyatuan dari tiga sungai besar yaitu Sungai Kreo, Kripik, dan Garang. Di Kecamatan Gunungpati, ketiga sungai itu menyatu dan menjadi hulu BKB. Ketiga sungai itu memiliki hulu di Kabupaten Semarang. Meskipun demikian, sekitar 90 persen sungai berada di wilayah Kota Semarang. Jadi, tidak masuk akal kalau ada yang mengatakan sumber persoalan banjir atau penyebab banjir itu berada di Kabupaten Semarang.

Karakteristik Sungai Kreo, Kripik, dan Garang itu ganas. Ini disebabkan tingkat kemiringan sungai yang curam dan dinding-dinding sungai yang terjal. Hal ini pula yang mengakibatkan arus sungai menjadi deras dan berpotensi banjir bandang saat musim hujan. Pada akhir 2006 misalnya, Sungai Kreo meluap dengan kecepatan tinggi. Peristiwa ini dirasakan oleh penduduk di sekitar SD Negeri 02 Sukorejo, Kecamatan Gunungpati. Limpasan air setinggi sekitar satu meter itu berlangsung cepat, tidak lebih dari 10 menit . Tanda-tanda bekas banjir masih tampak jelas pada dinding-dinding sungai.

Tugu Soeharto menjadi penanda pertemuan Sungai Kreo dan Garang. Orang lebih mengenal tempat itu dengan nama tempuran Soeharto yang biasanya ramai pada malam Tahun Baru Suro.

Lantas, bagaimana potret BKB sesungguhnya? Jangan pernah membayangkan, banjir kanal di Kota Semarang dipenuhi dengan aliran air yang lancar. Kubur dalam-dalam impian itu. Kenapa?

Bukan hanya air yang dijumpai, melainkan hamparan warna hijau dan cokelat banyak mendominasi pemandangan BKB. Hijau karena justru titik-titik savana yang tampak. Sedimentasi yang sudah menahun ditumbuhi rumput dan perdu. Bahkan menjadi arena olahraga masyarakat.

Warna cokelat merupakan hamparan pasir dan tanah yang belum ditumbuhi oleh rumput dan perdu. Di manakah gerangan air itu mengalir? Ya, hanya sekitar 10 persen lebar sungailah yang dilalui oleh aliran air. Kondisi ini hampir ada di setiap jengkal BKB yang ditelusuri Kompas, pekan lalu.

Adalah Bendungan Simongan yang memberikan warna lain. Tampak sejumlah orang bercengkerama di tengah gemericik air yang mengalir beraturan. Tampak pula anak-anak mandi dan berenang. Ada pula sekelompok anak sekolah dengan seragam pakaian olahraga duduk di sekitar pintu air. Mungkinkah sepanjang BKB akan menjadi tempat masyarakat menenangkan pikiran seperti halnya di Bendungan Simongan ini? Biarlah bendungan yang menjadi hulu Sungai Semarang ini menjadi catatan manis bagi BKB.

Menyusuri lebih jauh ke hilir, dominasi BKB bukan aliran sungai, melainkan masih berupa sedimentasi. Lebih parah lagi, daerah bantaran kali dijadikan sarana olahraga permanen. Tidak jarang pula ditemui sejumlah rumah semipermanen mulai didirikan di bibir tanggul BKB, misalnya pada ruas antara Bendungan Simongan sampai dengan jembatan di dekat Semarang Indah.

Menjelang muara, wajah sungai mulai tampak jelas. Lebar sungai dipenuhi air. Sedimentasi tak kelihatan lantaran air memenuhi semua ruang BKB. Di sebelah utara Jalan Arteri Utara tampak BKB dipenuhi dengan air. Bahkan, dari atas jembatan tampak jelas air tidak mampu lagi mengalir ke laut. Di sisi selatan Jalan Arteri Utara, sedimentasi yang berbentuk pulau masih tetap dominan.

Menapaki Jalan Arteri Utara bak membelah lautan luas. Makin jelas betapa beratnya air sungai seperti Kali Semarang, Kali Baru, dan Kali Banger untuk masuk ke laut. Pemandangan secara umum didominasi hamparan rawa dan tambak, baik di utara maupun di selatan jalan. Sejumlah pabrik dan industri tampak berdiri angkuh di sebelah utara jalan arteri. Dengan gagahnya, seolah tak peduli dengan kondisi kanan kirinya yang menggenang. Apakah ini merupakan salah satu dampak dari ditutupnya atau dibelokkannya sejumlah sungai di Kota Semarang?

Banjir Kanal Timur (BKT). Wah, ternyata tak lebih baik dari BKB. Di sejumlah titik, aliran air hanya memanfaatkan sela-sela sedimentasi. Nyaris tinggal 10 persen yang tampak sebagai sungai dengan aliran airnya. Selebihnya berupa sedimentasi dan hamparan rumput. Pemandangan di bantaran dan tanggul kali juga sama. Menyusuri BKT tak dapat melewatkan Stasiun Pompa Pengendalian Banjir Daerah Simpang Lima yang lebih dikenal dengan sebutan rumah pompa Kartini. Mulyono, salah satu petugas di rumah pompa yang terletak di Jalan Barito itu menceritakan betapa mahalnya biaya operasional pompa-pompa pengendali banjir. Lima pompa yang terdiri dari tiga besar dan dua kecil sudah ada sejak tahun 1981. Biaya operasional satu pompa besar 50 liter solar per jam, sedangkan pompa kecil 20 liter.

Dalam kondisi tertentu, kelima pompa tersebut dioperasikan secara berurutan. Jika hujan mengguyur Kota Semarang dan Simpang Lima terendam, biasanya pompa harus difungsikan dan airnya dibuang ke BKT. "Setelah dalam batas minimal 170 sentimeter, pompa besar yang berada di urutan pertama dinyalakan. Selanjutnya, kata Mulyono, jika masih belum menunjukkan penyusutan berarti, pompa besar kedua dioperasikan. Demikian selanjutnya sampai kondisi permukaan air menyusut. Penyusuran BKT diteruskan melewati salah satu sisi sungai yang dapat dilalui sepeda motor. Lagi-lagi, sedimentasi menjadi pemandangan yang luar biasa. Lebar BKT masih sama dari hilir hingga Peterongan. Namun, selanjutnya mulai menyempit dan namanya pun sudah bukan BKT melainkan Sungai Pedurungan. Kondisi sungai yang lebih sempit ini diperparah dengan pemanfaatan sedimen di bantaran kali oleh masyarakat sekitar. Beberapa tanaman keras tampak tumbuh di sana, salah satunya adalah jati.

Memang kondisi umumnya tidak berbeda jauh dengan BKB. Sedimentasi tak terkendali. Pemanfaatan bantaran kali yang sudah menyalahi fungsi kelihatan sangat dominan. Bahkan sedimentasi sudah ada di Bendungan Pucanggading yang menjadi pertemuan antara Sungai Pedurungan dengan Sungai Babon.

Penyusuran BKT dan BKB dari hulu ke hilir ini benar-benar menorehkan potret buram kondisi pengendali banjir Kota Semarang. Bayangan banjir kanal yang berisi aliran sungai yang dapat dilalui oleh perahu harus dikubur dalam-dalam. Pengalaman banjir yang sudah seabad ternyata tak mampu membuat BKB dan BKT lebih berarti.

Ironis! Kalau Jakarta memimpikan adanya Banjir Kanal Timur, sebaliknya Kota Semarang terkesan menyia-nyiakan BKB dan BKT. Kini Jakarta sudah mulai merencanakan transportasi air melalui Banjir Kanal Barat dan Timur. Apakah Kota Semarang menunggu terendam terlebih dahulu agar mimpi naik perahu di banjir kanal terwujud? Lantas bagaimana dengan Semarang Pesona Asia? Oleh ARI SUGIYA dan ANDRI RENO SUSETYO (LITBANG DAN INFOGRAFIK KOMPAS)



Post Date : 13 Maret 2007