|
Peneliti Australia mengembangkan vaksin diare. Bisa mencegah diare karena rotavirus. Vaksin ini akan diuji coba di Indonesia pada tahun depan. Diare tak pandang bulu. Penyakit perut ini bisa menyerang siapa saja, mulai bayi hingga usia lanjut. Boleh jadi, kebanyakan orang pernah terkena penyakit ini. Beberapa waktu lalu, Hananto Pratomo terserang diare berat. Perutnya mulas, sakit luar biasa. "Selalu ingin BAB (buang air besar)," ujar pria 25 tahun itu. Dalam sehari, ia bisa bolak-balik 20 kali ke toilet, tak kuat menahan feses cair yang "ngocor". Itu terjadi selama sehari. Warga Desa Pakem, Sleman, Yogyakarta, itu tak yakin apa penyebabnya. Yang pasti, sebelum terkena penyakit itu, ia sempat menyantap gorengan dan melahap 20 cabe. Keesokan harinya, ia kena diare. Hananto cemas, keluarganya hendak membawanya ke salah satu rumah sakit. Tapi, dia menolak. Selain karena merasa belum terlalu parah, ia juga malas bila harus mondok di rumah sakit. Pekerjaannya sebagai wiraswastawan pemasok bahan makanan bisa terbengkalai. Dokter pun memberikan resep obat diare. Namun ia merasa, obat pemberian dokter itu tidak mempan. Tak lagi sakit perut, tapi masih sering buang air besar. Bukan kali itu saja Hananto kena diare. Sejak kelas IV-V SD, ia sudah terkena. Begitu pula ketika SMP dan SMA. Bahkan, menurut dia, ketika itu lebih parah. "Awalnya, tiap makan selalu muntah, keluar cairan dan makanannya," kata Hananto. Tak lama lagi, penyakit diare bisa dicegah dengan vasin. Para peneliti terus mengembangkan sejumlah vaksin anti-diare. Yang terakhir, vaksin anti-diare RV3. "Di Indonesia mulai pengembangan. Kini tengah diteliti di Australia," kata Profesor Srisupar Yati Sunarto dalam pengukuhan guru besarnya di Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, bulan lalu. "Tahun depan, uji coba vaksin itu akan dilakukan di Indonesia,” Profesor Srisupar menambahkan. Vaksin yang berasal dari rotavirus yang dilemahkan itu merupakan tipe terbaru. Sebenarnya vaksin ini dikembangkan lebih dari satu dasawarsa lalu. Ketika itu, Profesor Ruth Bishop, mikrobiolog pada Royal Children Hospital, Australia, mengujicobakannya pada sejumlah anak penderita diare. Walhasil, sejumlah anak terbebas dari serangan diare. Hasil studinya mengalami kemajuan. Sejauh ini, hasil eksperimennya bagus. Daya proteksinya pun lebih baik ketimbang vaksin-vaksin yang sudah dicoba sebelumnya. Efek samping berupa usus berlipat tak terjadi. Jika sudah teruji klinis, vaksin itu tak akan diperjualbelikan. Vaksin RV3 ditujukan untuk negara-negara berkembang seperti Indonesia. Vaksin ini menjadi penting, karena kasus diare pada anak-anak tergolong tinggi. Ia menempati urutan kedua di bawah infeksi saluran pernapasan akut dalam hal penyebab kematian. Banyak kasus kematian disebabkan oleh keteledoran dalam menangani diare. Di Indonesia, jumlah penderita diare cukup banyak. Pada 1996, tingkat kematian akibat diare mencapai 1.226 per 100.000 orang. Banyak anak yang mengalami malnutrisi, tapi sebagian besar berkaitan dengan diare. Diare membuat anak-anak tak lagi mau menyentuh makanan. Orangtua pun tidak berani memaksa anaknya makan banyak. Diare juga tak mengenal musim. Ia bisa terjadi pada musim panas maupun hujan. Tapi sering muncul pada saat musim hujan dan pancaroba --dari musim hujan ke musim panas dan sebaliknya. Pada musim hujan, air bersih sulit dijumpai. Makanan juga kotor dan terkontaminasi. Tak mengherankan, banyak kejadian pada saat banjir, misalnya anak-anak meninggal karena diare. Sedangkan di dunia, penyakit diare ditengarai menginfeksi sekitar 1,9 juta orang per tahun. Mereka terinfeksi berbagai jenis bakteri atau rotavirus. Sebagian besar menimpa anak-anak di bawah usia lima tahun. Sebanyak dua pertiga kasus terjadi di kawasan Asia dan Afrika. "Penyebabnya, anak-anak selalu mengambil apa saja dan memasukkannya ke mulut," kata Therese Dooley, Ketua Proyek Unicef (badan PBB yang mengurusi masalah anak-anak) di Etiopia, beberapa waktu lalu. Mainan atau makanan itu boleh jadi tercemar kuman penyebab diare. Rotavirus ditemukan di negara maju dan berkembang. Hal ini mengindikasikan bahwa rotavirus bukan hanya dipengaruhi faktor-faktor penyebab diare umumnya, seperti faktor higiene, sanitasi, lingkungan, atau kondisi sosio-ekonomi. Prof. Srisupar mengatakan, rotavirus ditemukan pada anak-anak pengidap diare yang dirawat di bangsal di rumah sakit. Rotavirus juga lebih ganas. Dibandingkan dengan bakteri atau sebab lainnya, rotavirus lebih sulit dibasmi. Rotavirus kini menjadi penyebab utama diare. Di beberapa rumah sakit, jumlah kasus diare akibat kuman itu mencapai 60%. "Bukan 38% lagi," kata Prof. Srisupar kepada Arif Koes Hermawan dari Gatra. Ia merujuk pada studi yang pernah digelar tahun 1978-1979. Dari delapan studi rotavirus di Indonesia, hanya studi di Yogyakarta yang melibatkan penelitian pada varian virus tersebut. Penelitian berikutnya, sepanjang 2001-2004 dan 2005-2007 dengan protocol generic Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yang berlaku global, juga memperlihatkan hasil tak jauh berbeda. Ini bertolak belakang dengan angka pada 1950-an. Pada waktu itu, penyebab utama diare adalah bakteri Escherichia coli dan Salmonella warthington. Rotavirus ditemukan Ruth Bishop pada 1973. Kuman ini dijumpai pada saat dokter membiopsi anak pengidap diare. Biopsi adalah pengambilan sebagian jaringan untuk mengetahui jenis kelainan. Lalu dinamakanlah rotavirus karena bentuknya mirip roda. Di Indonesia, rotavirus ditemukan pertama pada bayi penderita radang saluran pencernaan akut dengan dehidrasi pada 1974. Tahun 1976, UGM bekerja sama dengan Prof. Ruth Bishop mulai meneliti rotavirus. "Kami bekerja sama 32 tahun untuk meneliti virus ini," kata Prof. Srisupar. Penelitian rotavirus di Indonesia berkat kerja sama UGM dengan University of Melbourne, Australia, serta PT Bio Farma selaku produsen vaksin. Tahun 2000, Indonesia mendapat kesempatan dari WHO dan Global Alliance of Vaccines and Immunization untuk memaparkan berbagai penelitian tentang diare. Dari pertemuan itu, terbentuklah Rotavirus Surveillance Network (RSN). Indonesian RSN didirikan di enam rumah sakit pendidikan dan dua rumah sakit daerah tingkat II. Dari studi di beberapa rumah sakit inilah diketahui, "Rotavirus merupakan penyebab diare terbanyak pada anak-anak," kata Prof. Srisupar. Menanggapi hal itu, Prof. Daldiyono menyambut gembira. "Jika itu vaksin rotavirus, saya sangat setuju," ujar ahli penyakit saluran cerna pada Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia itu. Sebab diare jenis itulah yang banyak menyerang anak-anak. Angka kematian akibat diare pada anak-anak juga tinggi. Kebutuhan vaksin anti-diare memang penting, termasuk untuk orang dewasa. Tapi, untuk orang dewasa, Prof. Daldiyono lebih setuju jika yang dibuat adalah vaksin kolera, disentri, dan demam tifoid. Ketiga jenis penyakit ini termasuk diare, tapi disebabkan oleh bakteri yang berbeda. "Kolera membuat penderita mengalami dehidrasi berat," katanya. Sedangkan diare yang tidak spesifik tak perlu dibuatkan vaksinnya karena tidak terlalu berbahaya. Aries Kelana Post Date : 30 Juli 2008 |