|
Jakarta, Kompas - Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, yang kini sedang diuji materiil di Mahkamah Konstitusi, secara substansi dinilai dapat memperjelas posisi pengelola air minum. Dari sana, hak dan kewajiban pihak swasta terhadap konsumen dapat diperjelas. Hingga kini, tidak ada undang-undang (UU) yang mengatur pengelolaan air minum sehingga keberadaan UU Sumber Daya Air (SDA) menjadi penting disahkan dalam kerangka pengelolaan air minum. Demikian diungkapkan salah satu ahli bidang air minum dari pemerintah, Priyono Salim, dalam sidang uji materiil ke-8 UU SDA Mahkamah Konstitusi di Jakarta, Selasa (8/2). Selain Priyono, ahli yang diajukan pemerintah adalah Ir M Napitupulu Dipl HE, Dr Ir Robert Kodoatie M Eng, dan Dr Effendi Pasandaran. "Pada waktunya nanti, air akan semakin sulit diperoleh sehingga harus ada ketentuan untuk mengaturnya," kata Priyono. Dia menambahkan, air minum saat ini tidak lagi sebatas memiliki fungsi kesehatan, tetapi juga fungsi ekonomi sehingga pengelolaannya pun semestinya diarahkan pada fungsi tersebut. Akan tetapi, seusai sidang yang berlangsung sekitar empat jam tersebut, Priyono enggan menyebutkan bahwa UU No 7/2004 itu merupakan awal dari swastanisasi air, seperti yang selama ini dikhawatirkan banyak pihak. "Soal jaminan usaha, pihak swasta sendiri yang akan menilainya," kata dia. Robert menguraikan, UU SDA telah seimbang mengatur konservasi, hak guna, dan perlindungan sosial. Bahkan, keberpihakan isi UU terhadap konservasi lebih besar dibandingkan dengan sisi ekonomi. "Menurut saya, UU ini sudah lengkap tetapi memang belum sempurna. Karena itu perlu peraturan pemerintah, keputusan presiden, dan keputusan menteri," ujarnya. Peraturan pemerintah, keppres, dan kepmen itulah yang nantinya diharapkan dapat menjadi rambu-rambu bagi pengelola air, baik oleh pemerintah maupun swasta. Masyarakat kecil Kepada wartawan, di sela persidangan, Menteri Pekerjaan Umum Djoko Kirmanto berjanji akan mengutamakan masyarakat kecil dalam pelaksanaan UU No 7/2004. Namun, ia meminta agar masyarakat tidak membandingkan isi UU dengan realisasi di lapangan saat ini. "Justru untuk memperbaiki kekurangan itulah maka undang-undang ini disusun," kata Djoko. Mengenai kekhawatiran swastanisasi air, ia mengatakan, pemerintah tidak akan berbuat lain sebelum kebutuhan dasar masyarakat terpenuhi. Sementara itu, kepada hakim konstitusi, Robert mengatakan bahwa satu-satunya jalan menghindarkan masyarakat dari bahaya swastanisasi air adalah memperketat perizinan. "Kalau nanti lebih dominan aspek ekonominya daripada aspek sosialnya, masalah sebenarnya bukan pada UU-nya, tetapi implementasinya," kata dia. Persoalan itulah yang justru disoroti para pemohon uji materiil, yakni tidak ada jaminan bahwa swastanisasi air tidak akan terjadi. Kekhawatiran itu diperkuat dengan adanya dokumen Bank Dunia, yang disebut Munarman-salah satu pemohon-telah mengucurkan dana 300 juta dollar AS untuk membiayai penyusunan UU SDA demi masuknya swasta dalam industri pengelolaan air minum di Indonesia. Pernyataan itu langsung dibantah oleh Dirjen Sumber Daya Air Departemen Pekerjaan Umum Basuki. "Tudingan itu tidak benar. Dana itu untuk financial gap di APBN yang menjadi kewenangan Departemen Keuangan," kata dia. (GSA) Post Date : 11 Februari 2005 |