SUHU tinggi membungkus Jakarta belakangan ini. Malam hari pun, angka pada termometer udara tak merosot dari 37 derajat Celsius. Kadang hujan memang masih mengguyur, tapi sergapan panas siap menggantikannya. Hal ini terjadi seiring dengan transisi menjelang kemarau sejak Maret lalu. "Gelombang matahari langsung menyengat," ujar Soetamto, Kepala Bidang Informasi Perubahan Iklim Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika.
Kondisi semacam itu jelas tidak baik untuk kesehatan. Namun tak banyak orang memperhatikannya. Padahal berbagai ancaman penyakit mengintai. "Kualitas udara dan air memburuk, daya tahan tubuh menurun," kata Ari Fahrial Syam, dokter ahli penyakit dalam Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta, Kamis pekan lalu. Penurunan daya tahan terjadi terutama karena tubuh kekurangan cairan akibat pengeluaran air yang besar dan tidak diimbangi pemasukan. Apalagi ditambah dengan gaya hidup yang penuh muatan stres.
Gangguan kesehatan yang paling banyak mengancam adalah infeksi saluran pernapasan atas. Infeksi terjadi karena kombinasi aktivitas menghirup udara kotor dan reaksi yang salah atas kondisi gerah. "Kesalahan yang umum adalah orang justru minum es atau yang dingin-dingin di saat kondisi panas," kata Ari.
Air akan melembapkan area dalam tubuh yang mudah diserang bakteri dan virus, seperti daerah bronkus (pipa saluran pernapasan), mukosa (lapisan kulit bagian dalam), lambung, dan usus. Kondisi lembap di area itu akan mengaktifkan sistem kekebalan tubuh. Tapi, jika konsumsi air kurang, membran mukus (lapisan dalam) pada bronkus akan mengering, sehingga dahak dan lendir akan menempel menjadi tempat virus dan bakteri berkembang biak.
Kualitas air yang menurun juga memicu penyakit diare. Menurut Ari, pada masa transisi musim seperti ini, diare bisa menjadi wabah di suatu daerah, bahkan bisa meningkat menjadi kejadian luar biasa. "Tapi pantauan sejauh ini belum ada," ujarnya. Nah, selain infeksi dan diare itu, gangguan kesehatan yang mengintai adalah iritasi kulit atau sakit kepala karena panas yang menyengat langsung.
Dalam kondisi seperti ini, langkah antisipasi yang menjadi prioritas untuk menjaga kesehatan adalah minum air putih yang banyak demi menghindari kekurangan cairan tubuh atau dehidrasi. "Ini tip umum, tapi kadang orang lupa," kata Ari. Kalau biasanya asupan air 6-8 gelas sehari, pada kondisi panas perlu ditingkatkan menjadi sekitar 10 gelas. "Lebih banyak lagi kalau aktivitasnya di jalanan dengan keringat banyak."
Selain mengganggu keseimbangan dan daya tahan tubuh, dehidrasi parah dapat menyebabkan penurunan kesadaran, koma, bahkan kematian. Jika tubuh kekurangan air, sirkulasi oksigen ke seluruh sel tubuh terhambat. Air sangat fungsional untuk mendukung metabolisme tubuh.
Mengenai vitalnya air ini, dalam satu kesempatan seminar, ahli gizi masyarakat Institut Pertanian Bogor, Profesor Soekirman, mencontohkan, di Venezuela, air sudah masuk piramida gizi seimbang. Dalam susunannya, air minum terletak di dasar piramida, sedangkan kelompok karbohidrat, seperti nasi, mi, pasta, dan roti, di atasnya. "Menjadi basis dari susunan gizi seimbang," ujarnya.
Soal minum air putih, dokter Riani Susanto, ahli naturopati (cara pengobatan alami), mencatat masih adanya kekeliruan yang sering dilakukan orang, yakni menganggap air putih bisa digantikan minuman seperti es, teh, atau kopi. "Minuman manis dengan gula tambahan justru menurunkan daya tahan tubuh hingga enam jam ke depan," katanya. Untuk menghadapi cuaca panas, tip dari Riani secara umum sama, yakni cukup minum air putih serta memperbanyak asupan sayuran dan buah buat menjaga daya tahan tubuh. "Ini kan tidak mahal, tapi orang suka menyepelekannya."
Konsumsi air lebih banyak masih diperlukan mengingat kondisi cuaca ekstrem diprediksi belum akan berakhir cepat. "Secara umum sampai Mei masih terjadi," kata Soetamto. Memang, kondisinya berbeda di setiap daerah di Indonesia.
Post Date : 03 Mei 2010
|