Upaya Penyadaran Menjaga Keindahan Pesisir Pantai Ende

Sumber:Kompas - 27 Januari 2009
Kategori:Sanitasi

Fasilitas umum beberapa WC dan kamar mandi senilai sekitar Rp 312 juta diresmikan Bupati Ende Paulinus Domi, Senin (5/1), di Kelurahan Rukun Lima, Kecamatan Ende Selatan, Ende, Flores, Nusa Tenggara Timur. Fasum itu dinamakan sanitasi masyarakat yang terdiri dari 4 WC, 1 ruang untuk mandi dan cuci, serta 6 kamar mandi, dan 1 gudang. Fasum tersebut dibangun di lingkungan warga Kampung Amburima dan Puurea.

Bagi warga setempat, ukuran fasilitas umum (fasum) dengan dinding luar bercat hijau itu boleh dibilang mewah. Bahkan, fasum itu juga dilengkapi sarana pembuatan biogas, bahasa modern-nya teknologi biodigester, guna menghasilkan bahan bakar alternatif yang bahan bakunya diambil langsung dari tinja yang tertampung dari WC. Orientasi biogas yang dihasilkan untuk digunakan masyarakat sekitarnya.

Yusuf Ibrahim, Ketua Kelompok Swadaya Masyarakat Kelurahan Rukun Lima, mengatakan, sarana sanitasi di Amburima dan Puurea sangat terbatas sebab hanya 25 persen dari 148 keluarga yang memiliki fasilitas WC atau mandi, cuci, dan kakus, yang masih layak digunakan.

”Itu sebabnya warga cenderung membuang kotoran (hajat) di pesisir pantai, yang tentu saja dapat menyebabkan pencemaran lingkungan yang berdampak pada kesehatan masyarakat,” kata Yusuf Ibrahim.

Kelurahan Rukun Lima merupakan salah satu wilayah di Kota Ende di pesisir pantai. Mayoritas masyarakat bekerja sebagai nelayan. Sejak lama, dan terkesan sudah menjadi kebiasaan, masyarakat pesisir pantai Ende membuang hajat dan kotoran lain di pesisir pantai. Itu sebabnya ada yang bilang di sepanjang pantai Ende banyak toilet berjalan atau merupakan toilet terpanjang di dunia.

Bupati Ende Paulinus Domi, ketika meresmikan fasum tersebut, berpesan kepada warga agar fasilitas itu benar-benar dimanfaatkan dan juga dipelihara dengan baik.

”Dana pembangunan sanimas (sanitasi masyarakat) ini dibantu juga dari pusat (APBN). Kalau memang nanti hasilnya positif, tak menutup kemungkinan program serupa dilaksanakan di wilayah lainnya, kalau perlu di tiap desa dibangun, ini untuk menunjang juga kesehatan masyarakat,” kata Paulinus.

Paulinus juga mengingatkan, yang tak kalah penting adalah agar warga sekitar tidak lagi membuang hajat di pesisir pantai demi kesehatan dan kebersihan, serta keindahan lingkungan pantai.

Untuk dana pemeliharaan fasum sanimas itu, warga Amburima dan Puurea dikenai iuran per bulan Rp 1.000 per keluarga. Sementara masyarakat umum atau dari luar dua kampung tersebut, jika akan menggunakan fasum itu, juga dikenai biaya.

Jamban

Nurdin Usman, warga Kelurahan Rukun Lima, menyatakan senang dengan adanya fasum sanimas itu. Ia merupakan salah seorang warga Rukun Lima yang memiliki jamban di rumahnya.

”Diharapkan, lewat fasum ini, warga di sini sadar agar tak lagi membuang hajat di pantai. Tetapi, rasanya fasum ini kurang jumlahnya sebab desa atau kelurahan pesisir pantai, kan, banyak. Jadi, sebaiknya fasum seperti ini dibangun di tiap-tiap kampung,” kata Nurdin.

Pemerhati sosial dari Keuskupan Agung Ende, Romo Frans X Deidhae Pr, berpendapat, proyek sanimas yang digulirkan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Ende tersebut masih menggunakan pola lama, seperti Orde Baru. ”Pola yang digunakan masih top-down, pendekatan pembangunan inisiatif dari atas. Seharusnya masyarakat dilibatkan sejak awal. Ini, kan, semacam dropping proyek. Proyek nantinya mubazir atau itu tidak masalah. Yang penting proyek sudah dilaksanakan. Apakah memang masyarakat setempat membutuhkan fasum seperti itu?” kata Romo Frans.

Menurut dia, pada masa Ben Mboi sebagai Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Ende tahun 1970-an, ia juga sudah menggulirkan program serupa, bahkan melarang warga membuang hajat di pesisir pantai. Namun, Ben Mboi malah menuai protes dan rumahnya dilempari kotoran manusia oleh warga yang keberatan.

”Yang penting bukan soal ada atau tidak ada jamban sebab asal ada dana, pembangunan jamban mudah dilakukan. Yang terpenting dalam hal ini adalah mengubah mentalitas masyarakat yang sudah terbiasa sekian lama membuang hajat di pesisir pantai. Sebab dari aspek kesehatan atau pemerintah, tentu fasum sanimas itu baik, tetapi belum tentu bagi warga yang biasa membuang hajat di pinggir pantai,” kata Romo Frans.

Direktur Pusat Kajian dan Advokasi Masyarakat Indonesia Kasimirus Bara Bheri sepaham dengan Romo Frans. Kasimirus berpendapat, proyek fasum sanimas itu tidak efektif sebab hanya untuk dua kampung, bagaimana dengan warga pesisir pantai lain yang juga banyak belum memiliki jamban?

”Sebaiknya Pemkab Ende menggulirkan semacam dana rangsangan bagi warga untuk membangun jamban di rumah masing-masing, warga juga harus berpartisipasi. Apalagi kalau membuang hajat di fasum itu warga harus membayar, bisa saja warga keberatan dan kembali membuang hajat di pinggir pantai,” kata Kasimirus.

Ia memandang perlu dibuat peraturan daerah menyangkut kebersihan lingkungan pantai yang berorientasi pada pengembangan pariwisata alam Ende. Dilarang bagi siapa pun membuang hajat di pesisir pantai. (SEM)



Post Date : 27 Januari 2009