|
Sungai Ciliwung sudah lama ”mati”. Nyaris tak ada lagi ikan di airnya yang hitam. Sungai itu beracun dan penuh sampah. Kini, Sungai Ciliwung yang telah menjadi tempat sampah raksasa itu akan dihidupkan lagi. Caranya dengan mengerahkan bakteri pelumat limbah. Sungai sepanjang hampir 120 kilometer itu menjadi perhatian utama. Terutama karena merupakan ancaman banjir terbesar bagi Jakarta dibandingkan dengan 12 sungai lain yang masuk wilayah ibu kota. Di antara 13 sungai di Jakarta, Ciliwung satu-satunya yang melalui tengah kota, melewati perkampungan, perumahan padat, dan permukiman kumuh. Ada sekitar 3,5 juta jiwa yang tinggal di daerah aliran sungai (DAS) Ciliwung seluas 387 kilometer persegi ini. Beban yang harus ditanggung sungai utama di Jakarta ini kian berat karena penduduk dan industri di sekitarnya menjadikansungai itu ”tempat sampah raksasa” untuk membuang sampah organik ataupun anorganik. Restorasi Perbaikan kondisi Ciliwung sesungguhnya telah dilakukan sejak tahun 1989 melalui Program Kali Bersih (Prokasih). Pada awal 1990-an ada hampir 120 industri yang berkomitmen menurunkan kandungan limbah yang dibuang ke tiga sungai, di antaranya Sungai Ciliwung. Namun, nyatanya kondisi sungai saat ini tak berubah, bahkan kian kotor dan hitam. Masalahnya adalah rendahnya kesadaran masyarakat dan industri untuk menjaga sumber daya air ini. Menurut Yun Insiani, Kepala Bidang Prasarana dan Jasa Kedeputian Pengendalian Pencemaran Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup (KLH), penurunan kualitas air Sungai Ciliwung terbesar (80 persen) diakibatkan limbah domestik. Namun, upaya perbaikan kualitas air Ciliwung terus dilakukan KLH. Kali ini melalui pembangunan percontohan restorasi Ciliwung sebagai tonggak untuk mendorong kepedulian masyarakat memperbaiki kualitas air sungai ini. Jangka waktu pelaksanaan pembangunan 30 bulan, mulai 3 Desember 2012, saat ditandai peletakan batu pertama pembangunannya oleh Menteri Lingkungan Hidup Republik Indonesia bersama Menteri Lingkungan Hidup Republik Korea. Proyek percontohan restorasi sungai ini, kata Yun, meliputi pembangunan fasilitas pengolahan limbah domestik dan pusat pendidikan. Pembangunannya akan melibatkan instansi terkait seperti Kementerian Pekerjaan Umum untuk pengelolaan sungai dan instalasi pengolahan air limbah (IPAL) domestik, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) dalam kaitan pemilihan teknologi IPAL, dan badan lingkungan hidup daerah dalam penyediaan fasilitas pendukung. Pembangunan percontohan IPAL berkapasitas 500 meter kubik per hari ini akan didanai dengan anggaran KLH Indonesia sebesar Rp 10 miliar yang dibagi dalam dua tahun anggaran, yakni tahun 2013 dan 2014. Adapun KLH Korea akan memberi dana hibah 9 juta dollar AS untuk pengadaan IPAL. Pendanaannya gabungan dari Korea Environmental Industry and Technology Institute (KEITI) dan Korea International Cooperation Agency (Koica). ”Awal tahun depan mulai dilaksanakan pembangunan konstruksi IPAL dan pengerukan sungai,” kata Yun. Namun sebelum itu, BPPT akan melakukan pengkajian kelayakan teknologinya. ”Instalasi yang diterima bukan yang berteknologi terlalu canggih dan mahal sehingga dapat dioperasikan oleh tenaga kerja Indonesia,” ujar Rudi Nugroho, Ketua Tim Pengkaji IPAL tersebut. Selain itu diupayakan penggunaan kandungan lokal seoptimal mungkin. Instalasi pengolah ini akan menggunakan bakteri dari alam Indonesia yang telah diisolasi dan dibiakkan. ”Penggunaan bakteri dari Korea tidak cocok untuk Indonesia yang hanya memiliki dua musim,” ujarnya. Selain itu, kata Rudi yang juga Kepala Bidang Teknologi Pengendalian Pencemaran Lingkungan BPPT, pengolahan limbah di Ciliwung harus multikultur alias banyak bakteri (menggunakan konsorsium bakteri) baik yang mampu melumat limbah organik maupun anorganik. Limbah proses IPAL selanjutnya didaur ulang melalui proses desalinasi atau teknik penyaringan osmosis balik, hingga memungkinkan penggunaan ulang air hasil olahan ini untuk keperluan sanitasi. Berpengalaman Dalam mengolah limbah cair, BPPT memiliki pengalaman menangani IPAL di berbagai industri, seperti pabrik tepung, baterai, otomotif, kaleng, limbah rumah sakit, dan limbah komunal. Sementara itu, penggunaan bakteri untuk pembersihan dasar sungai secara langsung, menurut Rudi, tidak efisien, mengingat aliran Ciliwung yang relatif deras, yakni sekitar 700 liter per detik, di musim hujan. Bakteri akan tergelontor dan harus ditambahkan lagi. Menurut Puspita Liesdijanti, pakar biologi dari Pusat Penelitian Biologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), menangani limbah dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu bioaugmentasi dengan menambah bakteri serta biostimulasi dengan menambah nutrisi sehingga bakteri dapat tumbuh cepat. Pemberian nutrisi, antara lain, berupa glukosa yang membantu pembentukan sel bakteri, sedangkan nitrogen dan fosfor dengan komposisi tertentu berguna untuk pertumbuhan bakteri. Adapun bakteri yang digunakan, antara lain, bakteri metanogenesis yang dapat menghasilkan gas metan dari bahan limbah. Selain itu ada Pseudomonas sp dan Nitrosomonas sp yang mengurai amonia. Bila air mengandung limbah bahan beracun dan berbahaya (B3) harus dilakukan teknik penukar ion dengan menggunakan resin untuk menangkap logam tertentu. Teknik pengolahan di hilir memerlukan biaya yang mahal. Karena itu, pengolahan limbah semestinya dilakukan pada sumbernya. Hal ini perlu peran serta masyarakat untuk memperlakukan sungai secara bijak. YUNI IKAWATI Post Date : 07 November 2012 |