|
UPAYA melindungi sumber air, saat ini mendapatkan perhatian yang cukup serius dari pemerintah. Hal ini berangkat dari kesadaran masyarakat dan pemerintah bahwa sumber air sebagai unsur lingkungan yang vital merupakan salah satu sumber daya alam yang dapat menjamin berlanjutnya kehidupan. Berbagai peraturan perundang-undangan dikeluarkan seperti "Ketentuan-ketentuan Payung", yang dituangkan dalam Undang-undang No. 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang, UU No. 23/1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU No. 41/1999 tentang Kehutanan, UU No. 7/2004 tentang Sumber Daya Air. Peraturan-peraturan pelaksanaannya antara lain dituangkan dalam Peraturan Pemerintah No. 22/1982 tentang Tata Pengaturan Air, PP 27/1991 tentang Rawa, PP 35/1991 tentang Sungai, PP 82/2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air, PP 16/2004 tentang Penatagunaan Tanah dan Keppres No. 32/1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung. Untuk mendukung upaya-upaya hukum tersebut, Pemda, Prov. Jabar menindaklanjuti dengan mengeluarkan beberapa perda, antara lain Perda No. 3/2001 tentang Pola Induk Pengelolaan Sumber daya Air di Provinsi Jawa Barat, Perda No. 2/2003 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Jawa Barat, Perda No. 1/2004 tentang Rencana Strategis Pemerintah Provinsi Jawa Barat, Perda No. 3/2004 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air. Perda No. 8/2005 tentang Sempadan Sumber Air, yang memperbarui perda-perda yang tidak sesuai lagi dengan perkembangan saat ini, antara lain Perda No. 20/1995 tentang Garis Sempadan Sungai dan Sumber Air dan Perda No. 12/1997 tentang Pembangunan di Pinggir Sungai dan Sumber Air, merupakan upaya komprehensif dalam melakukan perlindungan, pengembangan pemanfaatan, dan pengendalian sumber daya air. Oleh karena itu, perda ini dimaksudkan untuk penataan bangunan di pinggir sumber air, perlindungan masyarakat dari daya rusak air, penataan lingkungan, dan pengembangan potensi ekonomi agar dapat dilaksanakan sesuai tujuannya. Dengan kata lain, penetapan daerah sempadan sumber air bertujuan agar : 1. Fungsi sumber air tidak terganggung oleh aktivitas yang berkembang di sekitarnya; 2. Daya rusak air pada sumber air dan lingkungannya dapat dibatasi dan dikendalikan; 3. Kegiatan pemanfaatan dan upaya peningkatan nilai manfaat sumber air dapat memberikan hasil secara optimal, sekaligus menjaga kelestarian fisik dan kelangsungan fungsi sumber air; 4. Pembangunan dan/atau bangunan di pinggir sumber air wajib memerhatikan kaidah-kaidah ketertiban, keamanan, keserasian, kebersihan dan keindahan daerah sempadan sumber air; 5. Para penghuni dan/atau pemanfaat bangunan serta lahan di pinggir sumber air, wajib berperan aktif dalam memelihara kelestarian sumber air. Ruang lingkup pengaturan daerah sempadan sumber air lintas kabupaten/kota yang dikelola oleh pemerintah daerah, meliputi penetapan garis sempadan, pengaturan bangunan di pinggir garis sempadan, pembinaan dan pengawasan, penataan dan pemanfaatan daerah sempadan. Dalam hal pengelolaan daerah sempadan sumber air tersebut, pemerintah daerah dapat bekerjasama dengan pemerintah kabupaten/kota di wilayahnya. Sedangkan dalam hal penataan dan pemanfaatannya dapat dikerjasamakan dengan pihak ketiga. Penataan daerah sempadan sumber air air harus memerhatikan hal-hal sebagai berikut : 1. Bebas dari bangunan permanen, semipermanen dan permukiman; 2. Bebas pembuangan sampah, limbah padat dan limbah cair yang berbahaya terhadap lingkungan; 3. Seoptimal mungkin digunakan untuk jalur hijau; 4. Tidak mengganggu kelangsungan daya dukung, daya tampung, dan fungsi sumber air. Pemanfaatan lahan di daerah sempadan dapat dilakukan untuk kegiatan-kegiatan : 1. Budi daya perikanan dan pertanian dengan jenis tanaman tertentu; 2. Pemasangan papan reklame, papan penyuluhan, dan peringatan, serta rambu-rambu pekerjaan; 3. Pemasangan jaringan kabel dan jaringan perpipaan, baik di atas maupun di dalam tanah; 4. Pemancangan tiang fondasi prasarana transportasi; 5. Penyelenggaraan kegiatan-kegiatan yang bersifat ekonomi dan sosial kemasyarakatan lainnya, yang tidak menimbulkan dampak merugikan bagi kelestarian dan keamanan fungsi serta fisik sumber air; 6. Pembangunan prasarana lalulintas air; 7. Pembangunan bangunan pengambilan dan pembuangan air. Apabila melanggar ketentuan tentang perizinan, maka pelanggar diancam pidana kurungan paling lama 3 bulan atau denda paling tinggi Rp 50.000.000,00. Akan tetapi, jika tindak pidananya mengakibatkan rusaknya sumber air dan prasarananya, mengganggu upaya pengawetan air dan/atau mengakibatkan pencemaran lingkungan, dikenakan ancaman pidana sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Pembangunan fasilitas umum dan/atau yang melintas di atas maupun di bawah dasar sumber air, harus mempertimbangkan ruang bebas di atas permukaan air tertinggi serta dasar sumber air yang terdalam. Gubernur dapat menetapkan suatu ruas di daerah sempadan yang merupakan lahan masyarakat untuk membangun jalan inspeksi dan/atau bangunan pengairan yang diperlukan, dengan ketentuan lahan tersebut dibebaskan. Pembangunan bangunan hunian dan/atau sarana pelayanan umum yang didirikan di luar batas garis sempadan sumber air, harus mempunyai penampang muka atau bagian muka yang menghadap ke sumber air. Pembangunan tersebut harus mendapatkan izin dari pihak berwenang. Apabila bangunan yang sudah terbangun tidak sesuai dengan persyaratan tersebut, maka Perda No. 8/2005 memberikan toleransi waktu untuk menyesuaikan paling lambat dalam jangka waktu 5 tahun, terhitung diberlakukannya tanggal 9 September 2005. Penetapan garis sempadan Gubernur menetapkan garis sempadan di sekeliling dan di sepanjang kirin kanan sumber air, baik pada lokasi yang telah terbangun maupun yang belum terbangun, dengan mempertimbangkan perencanaan kapasitas daya tampung sumber air, kondisi tanah tebing sumber air, bangunan perlindungan tebing sumber air, jalur lintasan pemeliharaan sumber air dan pengaruh surut air laut. Khusus untuk mata air, sungai, danau, waduk, rawa, dan pantai pada lokasi yang belum terbangun harus mempertimbangkan hal-hal tersebut, serta batas minimal garis sempadannya. Batas garis sempadan sumber air yang diatur di dalam pasal-pasal Perda No. 8/2005, antara lain : 1. Mata air ditetapkan sekurang-kurangnya dengan radius 200 meter di sekitar mata air; 2. Sungai bertanggul di kawasan pedesaan sekurang-kurangnya 5 meter diukur dari sebelah luar sepanjang kaki tanggung; 3. Sungai bertanggul di kawasan perkotaan sekurang-kurangnya 3 meter diukur dari sebelah luar kaki tanggul; 4. Sungai tidak bertanggul dilakukan ruas per ruas dengan mempertimbangkan luas daerah tangkapan air; 5. Sungai tidak bertanggul di dalam kawasan perkotaan : a. Kedalaman tidak lebih dari 3 meter, garis sempadan sekurang-kurangnya 10 meter dari tepi sungai; b. Kedalaman lebih dari 3 meter sampai dengan 20 meter, garis sempadan sekurang-kurangnya 15 meter dari tepi sungai; c. Kedalaman maksimum lebih dari 20 meter, garis sempadan sekurang-kurangnya 30 meter dari tepi sungai. 6. Sungai yang terpengaruh pasang surut air laut ditetapkan sekurang-kurangnya 100 meter dari tepi sungai dan berfungsi sebagai jalur hijau. 7. Sungai tidak bertanggul yang berbatasan dengan jalan, garis sempadan adalah tepi bahu jalan yang bersangkutan. 8. Situ, danau, waduk, dan rawa ditetapkan sekurang-kurangnya 50 meter dari titik pasang tertinggi ke arah darat. 9. Rawa yang terpengaruh pasang surut air laut, ditetapkan sekurang-kurangnya 100 meter dari tepi rawa ke arah darat dan berfungsi sebagai jalur hijau. 10. Daerah sempadan pantai lebarnya proporsional dengan bentuk dan kondisi fisik pantai, ditetapkan sekurang-kurangnya 100 meter dari titik pasak tertinggi ke arah darat. 11. Bagian atas dan bawah sumber air ditetapkan oleh gubernur dengan mempertimbangkan ruas bebas di atas permukaan tertinggi serta dasar sumber air terdalam. Berdasarkan Pasal 22 Perda No. 8/2005, daerah - daerah sempadan sumber air tersebut dilarang untuk dimanfaatkan membuang sampah domestik, sampah industri, limbah padat dan limbah cair, mendirikan bangunan semipermanen dan permanen, serta mengeksploitasi dan mengeksplorasi di luar kepentingan konservasi sumber daya air. Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 22 merupakan tindak pidana yang diancam dengan pidana kurungan paling lama 3 bulan atau denda tinggi banyak Rp 50.000.000,00. Apabila tindak pidana tersebut mengakibatkan rusaknya sumber air dan prasarananya, mengganggu upaya pengawetan air dan/atau mengakibatkan pencemaran lingkungan, maka akan dikenakan ancaman pidana sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pada saat Perda No. 8/2005 mulai berlaku, maka Perda No. 20/1995 tentang Garis Sempadan Sungai dan Sumber Air dan Perda No. 12/1997 tentang Pembangunan di Pinggir Sungai dan Sumber Air, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Hal-hal yang berkaitan dengan izin-izin pemanfaatan daerah sempadan yang dikeluarkan sebelum Perda ini, sepanjang tidak bertentangan, dinyatakan tetap belaku. Sedangkan izin-izin yang berkaitan dengan hal tersebut, yang telah dikeluarkan sebelumnya, diberikan kesempatan untuk menyesuaikan paling lama dalam jangka waktu 5 tahun terhitung sejak berlakunya Perda No. 8/2005. (Sumber : Biro Hukum Pemprov Jabar)Oleh KARTONO SARKIM Post Date : 22 Juli 2006 |