|
SEORANG perempuan muda dan cantik uring-uringan. Sampah menumpuk di tong sampah depan rumahnya. Pekerja sampah yang tiap hari mengambil dan membuang ke tempat pembuangan sementara (TPS) sudah dua hari tidak menjalankan tugasnya. "Begini jadinya kalau berhari-hari tak dibuang. Baunya itu lo, menjengkelkan. Lalat beterbangan, jangan-jangan membawa penyakit lagi," keluhnya. Istri pengusaha yang tampil trendi itu layak uring-uringan. Sampah yang menumpuk di depan rumahnya, mengganggu pemandangan. "Sudah bayar retribusi kok masih saja tidak dibuang. Maunya bagaimana ini? Terus siapa yang membuang. Kalau terlalu lama bisa menggunung dan menjijikkan," ujarnya. Siapa pun kalau menyangkut soal sampah tak bisa berbuat banyak. Rata-rata memilih menyingkir begitu melihat sampah. Apalagi pada musim hujan sekarang. Bau menyengat, becek, dan menjijikkan menyatu dan membuat pemandangan tak enak dilihat. Belum lagi lalat beterbangan di sekitarnya yang menambah kesan kotor. Jujur saja siapa yang mau membolak-balik sampah seperti itu? Hanya orang tertentu yang mau menangani, meski mungkin agak terpaksa. "La ajeng kerja napa malih. Niki mawon taksih beja didadoske petugas sampah (La mau kerja apa lagi. Ini saja masih untung dijadikan petugas sampah)," ujar Kliwon, petugas sampah di Nusukan. Sebagian besar petugas pengangkut sampah di tingkat kelurahan sudah berusia lanjut. Beberapa di antaranya perempuan. Berapa upah mereka per bulan untuk membuang sampah dari rumah warga di kampung-kampung ke TPS menggunakan gerobak? "Antara kelurahan yang satu dan yang lain tidak sama. Bergantung pada kemampuan dan hasil retribusi yang dipungut," kata Kepala Dinas Kebersihan dan Pertamanan (DKP) Kota Surakarta Drs Triyanto MM. Simpati Warga Dia mengakui, nominalnya belum menembus upah minimum kota (UMK). Petugas sampah hanya memperoleh upah Rp 300.000/bulan dari kelurahan dan insentif dari Pemerintah Kota Rp 100.000. "Akan tetapi, ada juga warga yang bersimpati dan secara pribadi memberikan tambahan," tuturnya. Contohnya Kliwon, selain menerima upah dari kelurahan dan insentif dari Pemkot, kadang-kadang ada beberapa warga yang memberi uang tambahan meskipun tidak rutin. "Ya pokoknya bisa hidup setiap bulan. Daripada menggelandang, bagi saya ini lebih baik," ucapnya lirih sambil mengelap keringat yang membasahi wajah dan badannya. Namun jika telaten masih ada tambahan penghasilan. Dia memilah sampah plastik dan kertas, kemudian dijual kepada pemulung yang sudah menunggu di TPS. Di TPS dia tidak usah menurunkan sampah dari gerobak. Pemulung akan menggantikan tugasnya sambil mengaduk-aduk mencari barang-barang yang masih bisa dimanfaatkan atau dijual. Drs Tumiriyanto dari Yayasan Krida Paramita menyebutkan, keberadaan petugas sampah di kampung harus mendapat prioritas semua pihak, bukan hanya Pemkot. Sampah merupakan kewajiban bersama seluruh warga masyarakat untuk menangani. Penghargaan bagi petugas sampah pun dinilai tidak manusiawi. "Mereka sebenarnya harus mendapat penghargaan lebih karena tidak semua orang mau menggeluti barang-barang yang sudah tak digunakan itu," jelasnya.(Sri Wahjoedi-27v) Post Date : 13 Januari 2006 |